Tak Mudah bagi Umar bin Khattab untuk Jalankan Wasiat Khalifah Abu Bakar
Ilustrasi/Ist |
Miftah H. Yusufpati
PADA hari ketiga wafatnya Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, waktu salat asar, ketika Khalifah Umar bin Khattab datang ke Masjid. Pada hari itu, setelah salat asar, khalifah berencana mengadakan mobilisasi untuk diberangkatkan ke Irak, sebagaimana diwasiatkan Khalifah Abu Bakar sebelum wafat.
Tetapi umat Islam di Madinah tampaknya masih tampak enggan. Ketika itu panglima perang muslim di Irak yang diangkat Khalifah Abu Bakar, Al-Musanna bin Harisah asy-Syaibani, turut hadir. Dia meninggalkan posnya dan kembali ke Madinah untuk mendesak khalifah yang baru, Umar bin Khattab, agar kaum murtad yang sudah jelas-jelas bertobat diperbantukan kepadanya. Al-Musanna meyakini; mereka lebih mampu dalam memerangi Persia. Ia makin keras mendesak tatkala Umar memerintahkan para tawanan perang keluarga kaum murtad dikembalikan kepada keluarga-keluarga mereka. Yakin dia bahwa perintah ini akan membuat mereka lebih siap berangkat bersama dia.
Melihat Umar tidak segera menjawab permintaannya itu dan melihat orang makin banyak yang menyetujui Umar dan pemerintahannya, harapannya mereka akan segera maju sesuai dengan seruan Khalifah untuk bergabung kepadanya.
Hanya saja, kala itu kaum muslim Arab engan menghadapi orang Persia yang terkenal bengis. Mereka ngeri atas tindakan pada pemimpin Persia yang sewenang-wenang dan keserakahannya menguasai bangsa-bangsa lain.
Bermaksud memberikan semangat, Musanna yang sudah berpengalaman menghadapi pasukan Persia tampil berpidato di hadapan mereka:
"Saudara-saudara! Saudara-saudara jangan takut menghadapi wajah mereka. Kami sudah menjelajahi desa Persia dan kami dapat mengalahkan mereka di kanan kiri Sawad, kami hadapi dan kami hancurkan mereka. Jadi yang sebelum kita sudah mempunyai keberanian menghadapi mereka, maka yang sesudahnya juga insya Allah demikian."
Umar bin Khattab menyimak kata-kata Musanna itu dan melihat dampaknya yang baik pada pendengarnya.
Setelah berdiri dan berpidato di hadapan mereka, di antaranya ia mengatakan: "Di Hijaz sudah tak ada lagi rumah buat kita kecuali di tempat mencari rumput, dan kekuatan penduduknya hanya dengan itu. Manalah orang-orang asing kaum Muhajirin itu dari yang sudah dijanjikan Allah.”
“Mengembaralah di muka bumi, bumi yang akan diwariskan kepada kamu sekalian, seperti dijanjikan Allah dalam Kitab-Nya. Ia berfirman untuk memenangkannya di atas semua agama. Allah akan memenangkan agama-Nya, akan memuliakan pembelanya dan mewariskan bangsa-bangsa kepada yang berhak. Manakah hamba-hamba Allah yang saleh itu!"
Sesudah menyimak kata-kata Musanna dan Umar, orang banyak itu merasa sangat tercela dengan sikap mereka yang masih malas-malas itu. Mereka sudah membela Rasulullah SAW dan memuliakan agama Allah, tetapi mengapa dengan seruan Umar mereka tak mau beranjak?
Dalam keadaan umat yang masih ragu-ragu, tiba-tiba Abu Ubaid bin Mas'ud bin Anu as-Saqafi tampil. Ia menyatakan siap berangkat ke Irak. Dialah orang pertama yang menyambut tugas ini.
Menyusul kemudian orang kedua, Salit bin Qais. Ketika itulah orang baru datang mengerumuni mereka dan mereka sepakat akan berangkat bersama-sama. Jumlah mereka mencapai seribu orang dari Madinah.
Umar senang sekali melihat mereka sudah berkumpul demikian. Jantungnya tergetar karena rasa bersyukur kepada Allah, bahwa kaum Muslimin sekarang sudah tergugah dari kebekuannya selama ini, yang tadinya hampir saja merusak suasana.
Abu Ubaid
Masalah selanjutnya adalah siapa yang akan ditunjuk untuk menjadi pimpinan ekspedisi itu? Kalangan Muhajirin dan Anshar sama-sama berminat akan jabatan tersebut. Keadaan ini menjadi pemikiran mereka yang tadinya masih ragu memenuhi seruan itu. Mereka khawatir jika Khalifah Umar menyerahkan pimpinan pasukan kepada satu orang yang bukan dari Madinah sementara kebanyakan anggota pasukannya terdiri dari orang-orang Madinah.
Cepat-cepat mereka berkata kepada Khalifah: "Pimpinan mereka hendaknya seorang sahabat yang mula-mula, dari Muhajirin dan Anshar."
Tetapi sikap ragu-ragu mereka selama tiga hari pertama pemerintahan Umar telah melukai hati dan masih terasa bekasnya. Oleh karena itu Umar langsung menjawab mereka: "Tidak! Allah telah mengangkat Saudara-saudara karena kesigapan dan kecepatan Saudara-saudara menghadapi musuh. Kalau kalian takut dan enggan menghadapi musuh, lebih baik pimpinan diserahkan kepada orang yang mau mempertahankan dan menyambut seruan itu. Pimpinan akan saya serahkan hanya kepada orang yang pertama menyambut tugas ini.”
Kemudian ia memanggil Abu Ubaid, dan pimpinan pasukan diserahkan kepadanya. Setelah itu ia memanggil Sa'd bin Ubaid dan Salit bin Qais dan katanya kepada mereka: "Kalian berdua kalau dapat menyusulnya akan saya serahi pimpinan dan kalian akan dapat melakukan itu dengan keberanian kalian."
Musanna bin Harisah merasa lega setelah melihat pasukan itu sudah siap berangkat ke Irak.
Menurut pendapat Umar Musanna tidak perlu tinggal di Madinah, dan diperintahkannya ia kembali ke Irak dengan angkatan bersenjatanya. Kata Umar kepadanya: "Cepat-cepatlah supaya kawan-kawanmu segera menemuimu!" Pasukan baru itu sekarang sudah dalam persiapan.
Bilamana waktu keberangkatan sudah dekat, Umar berpesan kepada Abu Ubaid: "Dengarkanlah dari sahabat-sahabat Nabi Sallallahu 'alaihi wa sallam dan ajaklah mereka bersama-sama dalam hal ini. Janganlah cepat-cepat berijtihad sebelum Anda teliti benar-benar. Ini adalah perang, dan yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang, yang pandai melihat kesempatan dan pandai pula mengelak."
Muhammad Husain Haekal dalam “Umar bin Khattab” menjelaskan inilah masalah yang sungguh pelik. Dengan ilham yang diberikan Allah kepadanya, dalam empat hari pemerintahannya, Umar bin Khattab telah dapat mengatasinya, sehingga kesibukannya dalam soal ini tidak sampai mengganggu pikirannya dalam menghadapi soal-soal lain yang juga tak kalah pentingnya.
Konsentrasi Umar selanjutnya tertuju pada soal Syam, orang-orang Kristiani Najran dan sekian lagi masalah, yang menurut pendapatnya berbeda dengan pendapat Khalifah Abu Bakar.
la sedang memikirkan suatu strategi yang harus diambil untuk mewujudkan konsepnya itu dan mendapat persetujuan Muslimin yang ada di sekitarnya. Tatkala melaksanakan konsepnya dalam menghadapi problem seperti ini, seperti biasa ia berterus terang, dan sangat tegas, tak kenal ragu atau basa-basi, dan tidak mengelak untuk memikul semua tanggung jawab sepenuhnya, sebab ia percaya bahwa ia benar, dan untuk itu pasti Allah mendukungnya.
(mhy)
No comments:
Post a Comment