Perjalanan Sufi Syaqiq al-Balkhi
Kecenderungannya pada tasawuf bermula dari ekspedisi niaga yang ditempuhnya. Saat masih berusia muda, Syaqiq al-Balkhi bepergian menuju ke Anatolia (Turki). Sebelum sampai ke kota tujuannya berbisnis, ia terlebih dahulu singgah di sebuah daerah di Syam.
Didorong rasa penasaran, Syaqiq lantas memasuki sebuah kuil setempat. Area itu adalah tempat penduduk lokal melakukan ritual-ritual penyembahan berhala.
Di dalamnya, Syaqiq menemukan banyak sekali patung berwujud manusia. Di depan patung-patung itu, tampak puluhan pendeta yang berkepala botak dan tidak berjanggut. Mereka dengan khusyuknya bersujud pada benda-benda tak bernyawa itu.
Syaqiq lalu menghampiri seorang dari mereka dan berkata, "Untuk apa engkau bersujud pada berhala? Padahal, semua manusia diciptakan oleh Zat Yang Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa."
Melihat si pendeta hanya diam, Syaqiq melanjutkan perkataannya.
"Sembahlah Allah. Jangan menyembah patung-patung yang tidak memberikan manfaat ataupun mudarat kepadamu!"
Akhirnya, si pendeta menjawabnya dengan tenang, "Kalau benar bahwa Tuhan yang engkau sebut itu Mahakuasa, memberikan rezeki dan sebagainya kepadamu, mengapa engkau ada di negeri kami sekarang? Apakah Tuhanmu tidak menjamin rezeki bagimu di negerimu sendiri?"
Mendengar jawaban itu, Syaqiq terkejut. Saat melangkah keluar dari kuil tersebut, hatinya seperti terguncang.
Baru kali ini ia menyadari, bahwa dirinya terlalu mengejar dunia. Lalai dari mengingat Allah.
Sejak saat itu, Syaqiq berupaya zuhud terhadap dunia. Ia mulai menyelami dunia tasawuf seutuhnya.
Budak ceria
Pada fase-fase awalnya menekuni jalan tasawuf, Syaqiq al-Balkhi pernah menyaksikan kejadian unik. Saat berada di suatu daerah, ia berpapasan dengan seorang budak yang tampak sedang asyik bersenang-senang.
Padahal, daerah setempat waktu itu sedang dilanda wabah dan kemarau berkepanjangan. Banyak warga lokal yang jatuh miskin dan seperti kehilangan harapan.
Syaqiq begitu terpana dengan keceriaan yang ditunjukkan si budak. Akhirnya, ia pun menyapa dan berbicara dengannya.
"Kesenangan apa yang sedang kamu lakukan ini? Bukankah orang-orang sedang dilanda kesusahan karena wabah dan paceklik?" tanyanya.
"Tuan, mereka mungkin mengalami paceklik. Tapi, saya tidak," jawab si budak dengan polosnya.
"Apa maksudmu?"
"Tuan, majikanku memiliki kebun yang subur di suatu perkampungan di luar sana. Hasilnya sanggup untuk mencukupi keperluannya dan seluruh pembantunya," jelas budak tersebut.
Perkataan budak itu langsung mengetuk nuraninya. Dalam hati, Syaqiq bergumam, "Budak ini tidak mengkhawatirkan rezekinya karena merasanya majikannya masih mampu. Padahal, baik dirinya maupun si majikannya hanyalah manusia. Maka, patutkah seorang Mukmin mengkhawatirkan rezeki, padahal ia memiliki Tuhan Yang Mahakaya lagi Maha Pemurah?"rol
No comments:
Post a Comment