Tunggul Ametung Kelahiran Kalangbret
Perang
saudara antara Panjalu dan Janggala mereda setelah Jayabaya naik tahta
di Daha. Pada masa Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayanti alias
Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala, ibarat keunggulan Pandawa
atas Kurawa dalam baratayuda. Untuk mengenang masa gemilang itu,
Jayabaya memerintahkan pujangga Mpu Sedah menggubah kitab Mahabarata,
dimana Panjalu yang menjadi Pandawanya. Akan tetapi setelah Jayabaya
wafat, tanah Jawa kembali bergolak, Panjalu dan Jenggala kembali
berseteru, kembali pecah. Janggala bangkit lagi, memusatkan kekuatannya
di timur gunung Kawi. Perang saudara terus berlangsung sampai ketika
Kertajaya mendaki tahta di Daha.
Mendengar Kertajaya naik tahta,
kekuatan Jenggala di Kutaraja berderap ke barat, melintasi pegunungan
Kawi, memukul Panjalu. Panjalu terdesak dan Raja Kertajaya menyingkir ke
barat sungai Brantas bersama sisa pasukan yang dipimpin Senapati Tunggul Ametung menuju Katang-Katang atau Kalangbrat, tanah kelahiran sang senapati.
Tersingkirnya
Kertajaya dari istana Daha menuju Katang-Katang, Kalangbrat, Kamulan,
termuat dalam prasasti Kamulan tahun saka 1116 atau 1194M: “…lagi kilala mwang kalasana decanya padapuran Cri maharaja tatkala ni..n kentar sangke kadatwan ring Katang-Katang, deninkin malr yatik kaprabhun Cri maharaja siniwi ring bhumi Kadiri…”.
Selama
dalam pelarian, Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai keraton
sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pendeta serta segenap
penduduk Kamulan, Senopati Tunggul Ametung giat menggalang kekuatan merencanakan serangan balik.
Tergusurnya
Kertajaya dari keraton Daha menuju Kalangbrat atau Kamulan, lalu
membangun kekuatan di tempat lain, menyiapkan serangan balik, mirip
dengan kisah yang pernah dialami kakek moyangnya, Erlangga. Sebagaimana
termuat dalam Prasasti Terep, pada tahun 1032M, setelah membangun istana
baru di lereng penanggungan, Erlangga dan sisa pasukannya terpaksa
menyingkir ke utara lalu berkubu di daerah Patakan, karena istana Watan
Mas digempur dan diduduki musuh yang dipimpin Ratu Lodoyong, perempuan
perkasa dari selatan sungai Brantas. Di Patakan, Erlangga membangun
kembali kekuatannya dan di akhir tahun berderap ke selatan, menjotos
Ratu Lodoyong. Penyerbuan pasukan Erlangga atas Lodoyong di brang kidul
atau di selatan sungai Brantas termuat dalam prasasti Pucangan. Setelah
berhasil merebut kembali istana Watanmas, Erlangga tidak menempati
istana di lereng Gunung Penanggungan itu melainkan membangun kotaraja
baru di Kahuripan.
Dan
sebagaimana yang pernah dilakukan Erlangga atas Lodoyong, Raja Panjalu
Daha Kertajaya pantang menyerah. Meski tersingkir dari istana lalu
terpaksa menghuni daerah alas di selatan gunung Wilis, keinginannya
untuk kembali menduduki tahta Daha tak padam juga. Raja Kertajaya
teringat pada segala sejarah perjuangan leluhurnya yaitu Erlangga saat
pada tahun 1009M terpaksa tersingkir dari istana Watan yang terletak di
timur gunung Lawu itu menuju ke barat ke sebuah desa bernama Cane di
daerah wanagiri.
Apalagi
segenap penduduk Kamulan dan sekitarnya termasuk Kalangbrat, dan
desa-desa lain di selatan sungai Brantas mengibarkan semangat
kebangkitan mengobarkan kembali ‘Panjalu Jayanti’, semboyang yang pada
tahun 1135M digunakan Raja Panjalu Jayabaya saat menggulung Janggala.
Maka
masih dalam tahun 1194M, Senapati Tunggul Ametung menderapkan pasukan
gabungan Daha dan Kamulan ke timur, menggempur Janggala di Kutaraja
sampai kemudian berhasil menaklukkan kerajaan yang menganut agama Siwa
di timur gunung Kawi itu.
Sampai
di sini dapat diketahui bahwa yang berjasa besar menaklukkan Janggala,
yang berjasa besar mengembalikan kedaulatan Panjalu hingga mengantar
Raja Panjalu Kertajaya ke istana Daha adalah Senapati Tunggul Ametung
disokong kekuatan dari kalangbrat dan Kamulan atau kekuatan brang kidul.
Peristiwa ini juga menjadi tonggak sejarah berdirinya kekuasaan Tumapel
dengan penguasa pertamanya Tunggul Ametung dan menjadi sebab
dikeluarkannya Prasasti Kamulan oleh Raja Kertajaya.
Setelah
kembali bertahta di Daha, Raja Kertajaya mengeluarkan dua kebijakan
penting yaitu menetapkan daerah di timur gunung Kawi, daerah bekas pusat
pemerintahan Janggala sebagai daerah amancanagara bernama Tumapel
dengan ibukota tetap di Kutaraja yang berada di bawah kekuasaan Panjalu
dengan menempatkan Senapati Tunggul Ametung yang kelahiran Kalangbret
ini sebagai penguasa pertama daerah amancanagara Tumapel. Kebijakan raja
ini dikeluarkan sebagai penghargaan kepada sosok Tunggul Ametung usai
secara gemilang menunaikan tugas negara, mengembalikan tahta Raja
Kertajaya. Dapat dikatakan pula bahwa Tumapel secara resmi berdiri pada
tahun 1294M.
Kebijakan
penting kedua yang dikeluarkan Raja Kertajaya adalah menetapkan daerah
Katang-Katang atau Kamulan sewilayahnya sebagai daerah perdikan atau
swatantra, daerah istimewa yang dibebaskan dari segala pungutan pajak,
daerah merdeka berpemerintahan sendiri yang kedudukannya berada langsung
di bawah kekuasaan raja. Pada masa itu daerah Kalangbret sudah menjadi
daerah perdikan kerajaan. Penganugerahan desa Kamulan dan sewilayahnya
sebagai daerah swatantra tertuang dalam piagam kerajaan pada tahun
1194M.
Adipati
Tunggul Ametung mulai membangun dan menjaga daerah Tumapel yang
beribukota di Kutaraja. Pada sekitar tahun 1203M, Tunggul Ametung
menikah dengan Kendedes, putri pendeta Boddha dari Panawijen bernama Mpu
Purwwa Widada atau orang mulia dari timur gunung Kawi. Purwwa artinya
timur. Karena pendeta Boddha aliran Mahayana itu berasal dari timur Kawi
maka dikenal sebagai Mpu Purwwa.
Tiwi sang
No comments:
Post a Comment