Wara’ dalam Kisah Para Salaf
Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’
Seseorang tidak akan dapat mencapai hakikat iman sehingga ia memiliki empat sifat. Pertama menunaikan amalan wajib dengan disempurnakan amalan sunnah, memakan makanan halal dengan sifat wara’,) menjauhi larangan secara lahir dan batin, dan bersabar dalam hal-hal tadi hingga maut menjemput,” demikian kata At Tursturiy. Sikap inilah yang menjadi bagian karakter yang dimiliki kaum Muslimin.
Wara’ diambil dari kata yang terdiri dari huruf waw, ra, dan ain yang berarti ‘menahan’, ‘mengepal’. Menurut bahasa, wara’ adalah menjaga kesucian, yaitu menahan diri dari yang tidak pantas. Maka dikatakan wara’ jika seseorang merasa sempit.
Sedangkan, menurut istilah syariat, wara’ adalah meninggalkan yang meragukan, menentang yang membuatmu tercela, mengambil yang lebih terpercaya, mengarahkan diri kepada yang lebih hati-hati. Singkatnya, wara adalah menjauhi yang syubhat dan mengawasi yang berbahaya.
Dalam ajaran Islam, sikap wara’ menempati tempat yang tinggi lagi mulia. Ia bagian dari ketakwaan yang mana takwa tidak akan tercapai kecuali diiringi sikap wara. Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat takwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”
Ketika seseorang telah sampai pada maqam wara’ , ia akan menjadi orang yang ahli ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qana’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang Mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi Muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR: Ibnu Majah).
Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya. Mari kita lihat sejenak mengenai sifat wara’ ini.
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’ ” (HR: Ath Thabrani dalam Al Awsath)
Nah, bagaimana sikap wara’ yang ditunjukkan oleh para salaf agar menjadi bagian dalam sikap hidup kita?
Wara’ ditunjukkan oleh Sahabat Abu Bakar As Shidiq. Menurut Sayyidah Aisyah RA, “Abu Bakar memiliki budak laki-laki yang sering memberinya upeti. Biasanya, Abu Bakar juga turut makan dari upeti si budak. Pada suati hari, si budak membawa makanan lalu Abu Bakar memakan sebagian makanan itu. Dan tidak lama kemudian makan itu dikeluarkan dari tenggorokannya. Karena si budak mengatakan, “Pada masa jahiliyah, saya penah meramal sesuatu untuk seseorang, tapi tidak serius. Saya mengelabuinya. Ia pu membayar jasaku dengan makanan ini. Inilah makan yang tadi tuan makan.”
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Al Atsir dalam Usul Al Ghabah dikisahkan Mujahid menceritakan tentang Umar bn Khattab. Umar menghabiskan uang sebanyak delapan puluh dirham dalam satu ibadah haji yang dilaksanakannya. Uang ini untuk membekali perjalannya pulang pergi dari Madinah ke Makkah. Ia merasa sedih, kecewa dan menyesal sembari menepukkan tangannya ke tangan yang lain, dan berkata, ”Sangat tidak pantas bagi kita untuk berlebih-lebihan dalam menghabiskan harta Allah.”
Hal yang sama ditunjukkan pula sikap wara’ itu oleh Abu Darda. Muawiyah bin Qirrah berkata, “Abu Darda memiliki seekor unta yang diberi nama Ad Damun. Apabila orang hendak meminjamnya, terlebih dahulu berpesan, “Jangan kamu bebani unta itu di luar kemampuan.” Menjelang kematian si unta, Abu Darda berkata, “Ad Damun, kamu jangan menggugatku di hadapan Allah karena aku tidak pernah membebanimu di luar kemampuanmu.”/Akbar Muzakki
No comments:
Post a Comment