Mohammad Natsir: Proklamasi Kemerdekaan RI Juga Kemerdekaan Islam

[Ilustrasi] Hubungan erat: M Natsir bersama Syeikh Muhammad Amin Al-Husaini (Mufti Palestina) dan Hassan Al-Hudaibi adalah Mursyid Am Ikhwanul Muslimin
Natsir benar. Bukan hanya umat Islam yang terlibat dalam perjalanan panjang perjuanan memerdekakan diri dari penjajahan. Tapi, Islam itu sendiri, menjadi faktor penting dalam membentuk motivasi dan proses perjuangan kemerdekaan.

Dr. Adian Husaini 

Hidayatullah.com | TIDAK dapat dipungkiri, bahwa perjuangan kaum Muslim Indonesia untuk melawan penjajahan juga didasarkan pada fakta, bahwa Penjajah Eropa – Portugis dan Belanda – juga mempunyai misi agama untuk mengkristenkan wilayah yang dijajahnya. Penjajah pun melihat Islam sebagai faktor penting dalam membangkitkan dan memelihara semangat perlawanan terhadap penjajahan.

Keterkaitan erat antara gerakan Kristenisasi dengan pemerintah kolonial banyak diungkap oleh para ilmuwan Indonesia. Tiga Disertasi Doktor di Belanda dan Amerika Serikat yang kemudian diterbitkan di Indonesia, mengkaji masalah hubungan antara Kristenisasi dan kolonialisme di Indonesia.  Dr.  Aqib Suminto, menerbitkan disertasinya di Leiden University, dengan judul Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985);  Dr. Deliar Noer juga menerbitkan disertasinya di Cornell University dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1990), Juga disertasi Dr. Alwi Shihab di Hartford Seminary diterbitkan dengan judul Membendung Arus — Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).

Sebuah contoh nyata, misi Kristenisasi di awal abad ke-20, oleh pemerintah Kolonial Belanda dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg (berkuasa 18 Desember 1909 sampai dengan 21 Maret 1916). Tahun 1920, ia mengeluarkan ”Edaran Minggu” atau ”Edaran Pasar”.

”Edaran Minggu” memberi sugesti bahwa tidak pantas untuk mengadakan pesta kenegaraan pada hari Minggu. Edaran ini juga meminta agar seluruh administratur dan pegawai sipil agar menghindari kegiatan-kegiatan resmi atau setengah resmi pada hari Minggu. ”Edaran Pasar” melarang diadakannya hari pasar orang Indonesia apabila ini jatuh pada hari Minggu.

Idenburg, misalnya, menyatakan, bahwa satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan adalah pengkristenan. Seperti dikutip Robert E. Speer, Idenburg menegaskan: ”The issue for Mohammedan world is not Mohammed and Christ. It is Christ. It is Christ or decay and death.” (Pilihan untuk dunia Islam bukan Muhammad dan Kristus; bukan Muhammad atau Kristus; tetapi pilihannya hanya Kristus. Pilih Kristus atau akan mengalami pembusukan dan kematian). (Lebih jauh, lihat, M. Isa Anshary, Mengkristenkan Jawa: Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen, Tesis Magister Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diterbitkan oleh Pustaka Lir-Ilir, Surakarta, 2013).

Jadi, fakta sejarah menunjukkan, penjajahan (kolonialisme) Barat di Indonesia memiliki kaitan erat dengan misionaris Kristen untuk melanggengkan kekuasaannya. Mengutip pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, Dr. Aqib Suminto mencatat: “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.”

Faktor Islam

Mohammad Natsir mencatat, bahwa:  “Pergerakan Islam pulalah yang pertama-tama meretas jalan di negeri ini bagi kegiatan politik yang mencita-citakan kemerdekaan, yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia, yang telah mengubah wajah-wajah isolasi pelbagai pulau dan juga roman muka provinsialis, yang juga pertama-tama menanamkan benih persaudaraan dengan orang-orang seiman sekeyakinan di luar batas-batas Indonesia.” (M. Natsir, “Indonesisch Nationalism” dalam Pembela Islam, No. 36, Oktober 1931. Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

Menurut Mohammad Natsir, kemerdekaan bukan hanya berarti “kemerdekaan Indonesia” melainkan juga “kemerdekaan kaum Muslimin Indonesia” dan “kemerdekaan Islam” . “Cita-cita kaum Muslimin dalam perjuangan kemerdekaan ini,” kata Natsir, “adalah untuk kemerdekaan Islam, agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan untuk kesejahteraan dan kesempurnaan kaum Muslimin serta segenap ciptaan Allah. (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta…. Ucapan Natsir dikutip Endang Saifuddin Anshari dari buku Prof. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Singapore-Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973).

Natsir benar. Bukan hanya umat Islam yang terlibat dalam perjalanan panjang perjuanan memerdekakan diri dari penjajahan. Tapi, Islam itu sendiri, menjadi faktor penting dalam membentuk motivasi dan proses perjuangan kemerdekaan. Dalam Kongres Nasional Pertama Centraal Sarikat Islam, yang berlangsung di Bandung, 17-24 Juni 1916, Tjokroaminoto, ketua Sarikat Islam, berpidato,  “Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita.”

Jadi, jauh sebelum kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,  dengan motivasi Islam, pemimpin Islam sudah menyerukan kebebasan dan kemandirian.  Kongres Sarikat Islam, atau Kongres Nasional Pertama itu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah jajahan Hindia Belanda. Gubenur Jenderal van Limburg Stirum menulis laporan kepada Menteri Jajahan PLeyte, yang antara lain mengakui:

“Juga agama Islam menjadi faktor yang penting dalam pergerakan rakyat di masa sekarang. Jelas sekali bahwa di tahun-tahun yang akhir ini, ke-Islaman rakyat lebih menonjol. Dari bebagai-bagai pertanda dapat diambil kesimpulan, bahwa bukan bagian kecil dari rakyat, tidak saja lebih yakin kepada agama itu, tetapi juga karena mereka menyadari, dengan agama itu mereka termasuk golongan yang besar, yang dapat memberi perlindungan terhadap bermacam-macam pengaruh, dan memberi kekuatan kepada golongan itu.” (Lihat, Mr. Mohammad Roem, “Tiga Peristiwa Bersejarah”, (Jakarta: Penerbit Sinar Hudaya, 1972).* 

Penulis adalah pengasuh PP Attaqwa – Depok (ATCO)

No comments: