Lelaki Zuhud Ini Tolak Pinangan Khalifah Abdul Malik bin Marwan


Miftah H. Yusufpati

SUATU tahun, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan berhasrat untuk menunaikan haji ke Baitullah al-Haram dan berziarah ke Haramain yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. 

Sampailah bulan Dzulqadah, beliau berangkat menuju ke bumi Hijaz disertai tokoh-tokoh Bani Umayah, para gubernurnya, pejabat pemerintah, dan sebagian anaknya. Rombongan bertolak dari Damaskus ke Madinah al-Munawarah tanpa tergesa-gesa. Setiap kali singgah di suatu tempat atau wilayah, mereka beristirahat sambil mengadakan majelis ilmu dan saling memberikan peringatan agar bertambah pengetahuannya tentang agama dan mengisi jiwa dengan mutiara hikmah dan nasihat yang baik.

Sampailah rombongan tersebut di Madinah al-Munawarah, Amirul Mukminin menuju tempat suci untuk memberi salam kepada penghuninya, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian beliau melakukan salat di Raadhah asy-Syarifah. Beliau merasakan kesejukan, ketenangan, dan ketentraman jiwa yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Ingin rasanya beliau memperpanjang waktu kunjungannya di kota Rasulullah itu seandainya ada waktu luang.

Pemandangan yang paling mengesankan dan menarik perhatiannya di Madinah al-Munawarah itu adalah banyaknya halaqah ilmu yang memakmurkan masjid Nabawi. Di sana berkumpul para ulama besar dan tokoh-tokoh tabiin bagaikan bintang-bintang bercahaya di ufuk langit. Ada halaqah Urwah bin Zubair, ada halaqah Said bin Musayyab, dan ada halaqah Abdullah bin Utbah.

Suatu hari Amirul Mukminin terbangun dari tidur siangnya dengan tiba-tiba, tidak seperti biasanya. Lalu dipanggilnya penjaga, "Wahai Maisarah!" Maisarah menjawab, "Saya wahai Amirul Mukminin." Beliau berkata, "Pergilah ke Masjid Nabawi dan undanglah salah satu ulama yang berada di sana untuk memberikan peringatan kepada kita." 

Maisarah bersegera menuju Masjid. Dia melihat seluruh sudut-sudut masjid namun tidak melihat kecuali satu halaqah yang dipimpin oleh seorang syaikh yang telah tua. Usianya tampak sudah lebih dari 60 tahun, wajahnya kelihatan memancarkan kewibawaan seorang ulama. Orang-orang nampak menaruh hormat dan takjub kepadanya.



Maisarah menghampirinya hingga dekat dengan halaqah tersebut lalu menunjukkan jarinya kepada syaikh tersebut. Akan tetapi orang itu tak menghiraukannya, sehingga akhirnya Maisarah mendekat dan berkata, "Tidakkah Anda melihat bahwa saya menunjuk Anda?"

"Anda menunjuk saya?" ucap Said balik bertanya.

"Benar," ujar Maisarah menegaskan.

"Apa keperluan Anda?" Tanya Said kemudian. 

"Amirul Mukminin terbangun dari tidur lalu berkata kepadaku. Pergilah ke Masjid Nawabi dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari."

"Aku bukanlah orang yang beliau maksud," jawab Said.

"Tetapi beliau menginginkan seseorang untuk diajak bicara," desak Maisarah.

"Barangsiapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Lagipula hadis lebih layak untuk didatangi, akan tetapi dia tidak mau mendatangi," jawab Said.

Utusan itu kembali dan melapor kepada amirul mukminin, "Saya tidak menemukan kecuali seorang syaikh tua. Saya menunjuk kepadanya, tapi dia tak mau berdiri. Saya mendekatinya dan berkata, "Amirul Mukminin terbangun dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari." Tetapi dia menjawab dengan tenang dan tegas, "Aku bukan yang dia maksud dan masjid ini cukup luas kalau dia menginginkan hadis."

Khalifah Abdul Malik menghela nafas panjang. Dia bangkit lalu masuk ke rumah sambil bergumam, "Pasti dia adalah Said bin Musayyab. Kalau saja engkau tadi tidak menghampiri dan mengajaknya bicara"

Ketika Abdul Malik telah meninggalkan majlis dan masuk kamar, putranya yang bungsu bertanya kepada kakaknya, "Siapakah orang yang berani menentang Amirul Mukminin dan menolak untuk menghadap itu, sedangkan dunia tunduk kepadanya dan raja-raja Romawi gentar oleh wibawanya?"

Maka berkatalah saudaranya yang paling besar, "Dia adalah orang yang putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, al-Walid, tetapi dia menolak menikahkannya."

Adiknya berkata heran, "Benarkah ia tidak mau menikahkan putrinya dengan al-Walid bin Abdul Malik? Apakah dia mendapatkan pasangan untuk putrinya yang lebih layak dari calon pengganti Amirul mukminin dan khalifah? Atau dia seperti orang-orang yang menghalangi putrinya untuk menikah dan tinggal menganggur di dalam rumah?"

Berkatalah sang kakak, "Sebenarnya aku tidak mengetahui berita tentang mereka."

Selanjutnya seorang dari pengasuh mereka, yang berasal dari Madinah akhirnya menceritakan seluruh kisah tersebut. Menurutnya, gadis itu menikah dengan seorang pemuda kampung bernama Abu Wadaah. 

“Kebetulan dia adalah tetangga dekat kami. Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis seperti yang diceritakan Abu Wadaah sendiri kepada saya,” ujar pengasuh itu. (Bersambung)
(mhy)

No comments: