Khutbah Jumat: Langkah-langkah Menjauhi Ghibah

Di era perkembangan teknologi seperti sekarang menggunjing bisa terjadi melalui sarana media sosial. Ada yang menggunjing lewat Facebook, mengunakan WhatsApp, Instragram, dan sebagainya

Khutbah Jumat: Langkah-langkah Menjauhi Ghibah
Ilustrasi.Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil 

اَلْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَّالَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ في مُحْكَمِ كِتَابِهِ: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (الكهف: ١١٠)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Beberapa waktu lalu jagad dunia maya ramai membahas sebuah film pendek. Ada jutaan pemirsa yang menontonnya. Film itu berisi salah satu fenomena sosial yang kerap mengitari kehidupan sehari-hari. Yaitu Ghibah atau menggunjing.

Dalam film tersebut ada seorang ibu yang begitu sedap membicarakan orang lain. Ia sibuk menggunjing sana, menggunjing sini. Nyaris tidak ada yang selamat dari bisa lidahnya. Begitu fasih membicarakan kekurangan pada diri orang lain, mengulik kehidupan pribadinya, menyebarkan desas-desus dan melemparkan isu-isu tak sedap. Bisa jadi ada yang merasa bahwa film itu sesuai dengan apa yang ia alami, baik sebagai pelaku atau sebagai korban gunjingan.

Saudaraku seiman rahimakumullah,

Dalam Islam menggunjing tentulah tidak bisa dibenarkan kecuali dengan beberapa alasan darurat. Menggunjing sama dengan membongkar aib dan menguraikan kekurangan orang lain lalu lupa akan kekurangan pada diri sendiri. Menggunjing adalah aktifitas yang hanya sanggup dikerjakan oleh orang-orang yang tidak sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat.

Suatu ketika Luqman Al-Hakim diminta untuk menyembelih seekor kambing dan mengambil bagiannya yang terbaik. Ia pun mengambil lidah dan hatinya. Lalu beliau diminta lagi untuk menyembelih kambing yang lain. Ia diperintahkan untuk mengambil bagiannya yang terburuk. Maka diambilnya pula lidah dan hatinya.

Tuannya pun bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan Luqman. Jawab Luqman, “Wahai tuanku, tak ada yang lebih buruk ketimbang lidah dan hati bila keduanya buruk, dan tidak ada yang lebih bagus dari lidah dan hati bila keduanya bagus.”

Kisah ini memberi pesan berharga bahwa hati dan lidah memiliki pengaruh besar dalam hidup kita. Hati dan lidah yang terjaga akan menjadi sumber indahnya nurani. Keburukan dari keduanya juga gambaran suasana jiwa yang buruk. Keduanya memberi pengaruh yang amat menentukan bagi orang lain dan lingkungan sekitar, entah dalam wujud yang manfaat atau merugikan.

Nabi Muhammad ﷺ menunjuk lidah sebagai faktor utama yang bisa menjerumuskan seseorang kepada kebinasaan bahkan bencana bagi umat manusia. Seorang sahabat bernama Mu’adz pernah bertanya kepada Rasul tentang amalan yang memasukkan ke dalam surga dan menjauhkan dari neraka maka beliau bersabda, “Jaga darimu lidah ini.”

Kemudian Mu’adz bertanya kembali, “Apakah kita akan bertanggung jawab atas lidah ini?” Maka Rasulullah bersabda,

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

“Bukankah manusia dijungkirbalikkan wajah atau hidung mereka di neraka, kecuali karena lidah mereka.” (HR Tirmidzi). Dalam kesempatan lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

لا يَسْتَقِيمُ إِيمانُ عبدٍ حتى يَسْتَقِيمَ قلبُهُ ، ولا يَسْتَقِيمُ قلبُهُ حتى يَسْتَقِيمَ لسانُهُ ، ولا يدخلُ رجلٌ الجنةَ من لا يَأْمَنُ جارُهُ بَوَائِقَهُ

“Tidaklah lurus iman seorang hamba hingga lurus hatinya, dan tak akan lurus hati seorang hamba hingga lurus lidahnya. Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak selamat dari gangguannya.” (HR Ahmad).

Diriwayatkan, “Setiap pagi seluruh anggota tubuh mengingatkan lidah dengan ungkapan : berhati-hatilah menyangkut diri kami karena kami sangat berkaitan denganmu. Jika engkau ‘lurus’ kami pun lurus dan jika engkau menyimpang kami pun menyimpang.”

Orang-orang arif nan bijak berkata, “Tidak ada sesuatu di persada bumi ini yang lebih dibutuhkan untuk dipenjara dalam waktu yang lama melebihi lidah.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Para ulama jauh-jauh hari telah sering mengingatkan kita tentang beberapa penyakit lidah. Menggunjing merupakan salah satu penyakitnya. Sering tanpa sadar kita melakukannya baik dalam bentuk perkataan, isyarat, atau hati. Semuanya harus kita hindari. Allah SWT telah melarang perbuatan ghibah yang hina ini. Allah SWT menyamakan perbuatan tersebut seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Firman-Nya:

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“…Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seseorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya….” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dikisahkan, Rasul ﷺ pernah menjatuhkan hukuman rajam kepada Ma’is, seorang sahabat yang telah mengaku berzina. Ketika proses perajaman tengah berlangsung, ada seseorang yang berkata kepada kawannya, “Sungguh orang ini dilempari bagaikan seekor anjing.” Rasul yang mendengar ucapan mereka langsung berkata, “Sebaiknya kalian memakan bangkai binatang ini.”

Keduanya berkata, “Wahai Rasul, bukankah binatang ini telah menjadi bangkai?” Beliau ﷺ bersabda, “Kalian berdua telah menggunjing saudara kalian, maka hal itu lebih buruk dari bangkai binatang ini.” (HR. Abu Dawud).

Di era perkembangan teknologi seperti sekarang menggunjing bisa terjadi melalui sarana media sosial. Ada yang menggunjing lewat Facebook, mengunakan WhatsApp, Instragram, dan sebagainya. Ada persepsi keliru dari sebagian kalangan bahwa hal-hal demikian tidak termasuk menggunjing. Tentu saja, perbuatan seperti itu tetap dikategorikan sebagai ghibah, hanya saja menggunakan fasilitas media yang berbeda selain dengan lidah.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Agar diri kita tercegah dari ghibah, mari kita simak penjelasan Habib Umar bin Hafidz tentang cara mengobati lidah agar sembuh dari penyakit menggunjing. Yang pertama , kita harus memahami bahwa menggunjing adalah perbuatan yang sangat dimurkai Allah SWT. Bayangkan, perbuatan yang satu ini bisa melenyapkan pahala amal baik kita, sebaliknya mengalirkan dosa-dosa dari orang yang kita gunjing. Semua pahala kita bisa musnah tidak tersisa. Ditambah dengan kiriman dosa yang memenuhi pundi-pundi amal kita yang sebelumnya berisi pahala.

Langkah kedua adalah sering-seringlah melakukan koreksi atas diri sendiri. Setiap kita pasti punya kekurangan. Tidak ada seorang pun diantara kita yang sempurna. Dari sini kita bisa menyadari sebelum menggunjing, kita lihat kekurangan pada diri sendiri yang sangat banyak. Kita adalah insan yang banyak kekurangan. Mungkin terselip kekurangan fisik, amal ibadah, zikir, sedekah, dan kekurangan lainnya.

Andai benar bahwa diri kita tidak memiliki kekurangan: amal ibadah sudah baik, sedekah cukup banyak, dan selalu berzikir dalam berbagai situasi dan kondisi, tetap tidak bisa menjadi pembenaran untuk kita menggunjing. Yang justru kita lakukan jika kita merasa baik adalah berterima kasih kepada Allah SWT dan tetap hindari dari mengotori lidah dengan aib-aib saudara kita. Habib Umar menambahkan, “Seseorang yang merasa dirinya tidak memiliki kekurangan apapun, maka orang itu adalah orang bodoh dan itulah sebesar-besarnya aib yang dimilikinya.”

Langkah ketiga adalah merasa bahwa menyakiti diri orang lain dengan menggunjingnya sama sakitnya ketika diri kita digunjing oleh orang tersebut.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Berikutnya, kata Habib Umar, langkah keempat adalah dengan menghindari sebab-sebab yang mendorong kepada menggunjing. Diantara sebab menggunjing adalah karena kebiasaan seseorang membanggakan diri sendiri agar dihormati oleh manusia atau perasaan dengki kepada orang lain. Termasuk sebab ghibah adalah ujub, merasa dirinya lebih hebat.

Demikianlah pelajaran yang bisa kita petik dari Bu Tejo. Pelajaran yang berisi bahaya lidah jika kita gunakan untuk hal-hal yang buruk seperti ghibah dan sebagainya. Lidah bisa menjadi sumber kebaikan jika kita bijak dalam menggunakannya. Namun ia juga bisa menjadi sumber malapetaka yang membinasakan diri sendiri dan orang lain jika kita salah dalam mengelolanya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا.

أَمَّا بَعْدُ

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Penulis guru bahasa Arab di Pesantren Daruttauhid Malang, Dosen Bahasa Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Dosen Mata Kuliah Metode Terjemah di Institut Islam Darullughah wad Da’wah, Bangil, Kabupaten Pasuruan

No comments: