Kisah Pemerintah Kolonial Kala Phobia Pada Sebutan Khilafah
Walaupun berita tersebut di kemudian hari tidak bisa dibuktikan kebenarannya, seorang Aceh yang kebetulan berada di Penang terlanjur menyampaikan berita tersebut kepada khalayak Aceh sehingga menghebohkan seluruh nanggroe.
Pengaruh Khilāfah ‘Uṡmāniyyah di Aceh ketika masa-masa perang melawan Belanda (1873-1903) begitu kuat, sebagaimana perkataan orang-orang Aceh kepada seorang pedagang Prancis pada tahun 1875, bahwa banyak pemimpin mereka telah memutuskan untuk tidak pernah berhenti berperang sampai Khalīfah sendiri turun tangan untuk menyelesaikannya.
Sentimen keterikatan dan harapan akan bantuan dari Khilāfah ‘Uṡmāniyyah bahkan meluas hampir ke seluruh kawasan di Hindia Timur, sebagaimana yang Göksoy paparkan,
- Not only the Acehnese but most people in the region believed that the Ottomans might intervene. When Snouck Hurgronje, the Advisor on Native Affairs to the colonial government, was instructed to investigate the repercussions of the war in Java and Singapore, he found even in West Java many religious and secular leaders very symphathetic to Aceh. Although he himself did not seriously contemplate Ottoman intervention, he found a widespread belief in Java as well as Singapore that the Ottoman Empire had the right and the strength to intervene if it wished, since Aceh was under its protection.
Hal ini dapat dimaklumi karena selain Khilāfah ‘Uṡmāniyyah sudah melemah semenjak abad ke-19, politik luar negerinya pun sudah mulai terbatas semenjak Khilāfah ‘Uṡmāniyyah meninggalkan Islam sebagai dasar hubungan internasional.
Sebagai gantinya, mereka menganut sejumlah hukum Eropa dalam kerangka hubungan internasional pada 1856,7 yang berarti Khilāfah ‘Uṡmāniyyah tidak bisa ‘ikut campur’ sedemikian bebasnya untuk urusan Hindia Timur yang dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda.
Ironisnya lagi, yang pada akhirnya meruntuhkan dominasi kolonial atas kaum Muslim di Hindia-Belanda bukanlah – setidaknya, bukan yang utama – semangat persatuan Islam yang diilhami dari gagasan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, melainkan satu gagasan yang justru lahir dari rahim Barat, apalagi kalau bukan nasionalisme.
Padahal, di tahun 1924 justru nasionalisme-lah yang telah berperan besar dalam kehancuran Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, sekaligus melenyapkan institusi Khilāfah yang sudah berjalan semenjak masa Khalīfah Abū Bakr dan al-Khulafā’ al- Rāsyidūn setelahnya di abad ke-7.
No comments:
Post a Comment