Benarkah Pan Islamisme dan Khilafah Selalu Transnasional?
Dalam kajian tulisan dalam skripsi penulis yang diberi judul “Pasang dan Surut Pengaruh Pan-Islamisme Khilāfah ‘Uṡmāniyyah Terhadap Rakyat Hindia-Belanda, 1882-1928” tersebut akan mengeksplorasi perkembangan Pan-Islamisme yang dilancarkan oleh Khilāfah ‘Uṡmāniyyah kepada rakyat Hindia-Belanda untuk dijadikan ‘pedang ideologi’ yang mereka gunakan untuk menebas legitimasi kekuasaan kolonial yang bercokol di negeri mereka pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Selain bersifat langsung dari pihak ‘Uṡmāniyyah, dalam kajian pada skripsi juga berusaha mengkaji bagaimana cara pandang rakyat Hindia-Belanda itu sendiri terhadap kepemimpinan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah yang saat itu dianggap sebagai kekuasaan tertinggi kaum Muslim sedunia serta usaha-usaha mereka untuk menjalin ikatan dengan Khalīfah yang bersinggasana di Istanbul.
Menurut Anthony Reid, sebuah gerakan dianggap Pan-Islamisme jika ia memberikan suatu basis ideologis untuk kerja sama di antara, atau di luar, satuan-satuan politik tersendiri; di dalam suatu perjuangan politik yang ada di bawah bendera Islam.
Ikatan ini, lanjut Reid, banyak memiliki daya tarik untuk menghubungkan kaum Muslim Asia Tenggara dengan Khalīfah itu sendiri; yang di kalangan masyarakat luas dianggap sebagai penguasa paling kuat di muka bumi, yang terikat untuk membantu sesama pengikutnya yang tertindas jika mereka dapat membuktikan kepatutannya.
Tetapi, ini bukan berarti bahwa setiap ledakan antusias Pan-Islamisme merupakan bagian dari gerakan internasional yang dikomando secara terpusat, atau bersifat top-down dari İstanbul ke Asia Tenggara.
Sering kali antusias Pan-Islamisme justru berasal dari inisiatif sendiri sebagian kaum Muslim yang ada di Hindia-Belanda. Dan ketika waktu terus berlalu, peralihan zaman dari abad ke-19 menuju abad ke-20 menyaksikan–sebagaimana yang ditandaskan Deliar Noer, betapa makin surutnya Pan-Islamisme sebagai suatu gagasan politik yang mulai terlihat semenjak dasawarsa ketiga abad ke-20. Ide ini kemudian digantikan oleh gagasan nasionalisme yang juga makin populer di tengah bangsa-bangsa terjajah untuk memerdekakan diri mereka.
Usaha tersebut terus berjalan sampai lima tahun berikutnya, sampai akhirnya terbengkalai karena kaum pergerakan Islam yang mewakili rakyat Hindia sudah teralihkan konsentrasinya. Mereka kini tak lagi memikirkan masalah Khilāfah sebagai negara- umat (ummah-state) hanya menjadi sekedar memikirkan negara-bangsa (nation-state) sebagai basis tujuan dalam mencapai kemerdekaan.
Simbol peralihan hal tersebut terjadi dengan bersepakatnya berbagai elemen aktivis di Hindia-Belanda dalam peristiwa Soempah Pemoeda di tahun 1928.
No comments:
Post a Comment