KH Hasyim Asy’ari, Pengabdian untuk Negeri

KH. Hasyim Asyari
TEPAT di setiap 7 Ramadhan adalah haul KH Hasyim As’yari selalu diperingati. Di saat yang hampir bersamaan, nama besar tokoh Nahdlatul Ulama (NU) tidak ada di buku draft Kamus Sejarah Indonesia. Ada apa ini?

Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan II yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi sorotan sejumlah pihak lantaran dinilai memuat banyak kejanggalan di dalamnya. Kamus Sejarah Indonesia itu terdiri dari dua jilid, yang memuat informasi atau istilah kesejarahan dalam kurun waktu 1900 hingga 1988.

Sayangnya, kamus yang seharusnya menggambarkan informasi kesejarahan Indonesia tersebut diprotes karena dalam buku jilid I tidak mencantumkaan keterangan terkait kiprah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari. Padahal, Kiai Hasyim dikenal sebagai pahlawan nasional yang mendorong tercapainya kemerdekaan Indonesia.

KH Hasyim As’ari adalah tokoh ulama, pemikir, dan pejuang yang dianugrahi gelat Pahlawan Nasional tercatat lahir 4 Rabiul Awwal 1292 H/10 April 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kab. Jombang Jawa Timur. Beliau meupakan putra pasangan KH Asy’ari dan Nyai Halimah.

Sejak kecil KH Hasyim Asy’ari diasuh dan didik oleh ayah dan ibunya serta kakeknya, Kiai Usman sebagai pengasuh pesantren Gedang. Sejak anak-anak bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Asy’ari sudah tampak.

Dalam catatan tulisan Agus Sunyoto yang berjudul KH Hasyim Asy’ari, Sang Ulama Dan Pemikir, dalam usia 13 tahun, beliau sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar dari dirinya. Dalam usia 15 tahun, sekitar tahun 1309 H/1891 M, Muhammad Hasyim mengawali belajar ke pondok- pondok pesantren yang masyhur di Jawa Timur.

Karena kecerdasannya, Kiai Hasyim tidak pernah lama belajar di satu pesantren, karena semua mata pelajaran telah tuntas dipelajari dalam waktu tidak sampai satu tahun. Di antara Pondok Pesantren yang pernah disinggahi untuk diserap ilmunya adalah Pondok pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Trenggilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban, dan ke Bangkalan di Madura, yang diasuh Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif.

Setelah menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren selama 5 tahun, akhirnya beliau belajar di pesantren Siwalan, Sono, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub, yang dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Setelah menyerap ilmu selama setahun, dalam usia 21 tahun, Kiai Hasyim Asy’ari diambil menantu oleh Kiai Ya’qub dinikahkan dengan puterinya, Nyai Nafisah.

Tidak lama setelah menikah, Kiai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, beliau kembali ke Tanah Air, setelah istri dan anaknya meninggal dunia. Bulan Syawal 1310 H/ Mei 1892 M, Kiai Hasyim Asy’ari menikah dengan Nyai Chadidjah.

Setelah itu beliau berangkat ke Tanah Suci. Beliau menetap di Makkah selama 7 tahun dan berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Mahfudh At- Tarmisi, Kiai Shaleh Darat Al-Samarani.

Baca: Sikap KH. Hasyim Asyari terhadap Perbedaan Mazhab

Kedekatan dengan KH Ahmad Dahlan

Penting untuk difahami, bahwa pada saat Kiai Hasyim belajar di Makkah, saat Syeikh Muhammad Abduh melancarkan gerakan reformasi pembaharuan pemikiran Islam. Sebagaimana telah dikupas oleh Dr Deliar Noer, gagasan reformasi pembaharuan Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian umat Islam dunia termasuk santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Makkah seperti Kiai Achmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari.

Gagasan reformasi pembaharuan Abduh itu, pertama-tama mengajak umat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas. Ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan- kebutuhan kehidupan modern. Keempat, mempertahankan eksistensi Islam.

Usaha Muhammad Abduh merumuskan doktrin- doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan gagasan agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para Imam Mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek sufisme di tarekat-tarekat.

Syaikh Achmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Achmad Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan gagasan-gagasan Abduh itu, di antaranya adalah KH Achmad Dahlan, yang mendirikan organisasi Muhammadiyah tahun 1912.

Sementara Kiai Hasyim yang sebenarnya menerima gagasan-gagasan Abduh untuk membangkitkan kembali semangat memurnikan Islam, tetapi menolak pemikiran Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Semangat Nasionalisme

Semangat kebangsaan KH Hasyim Asy’ari tak diragukan lagi. Dengan memegang teguh keyakinan agamanya, justru nasionalismenya kokoh. Hal iini dibuktikan dengan hadirnya fatwa jihad dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad.

Dasawarsa awal abad ke-20 ditandai Kebangkitan Nasional yang menyebar ke mana-mana, sehingga muncul berbagai organisasi pendidikan, sosial, buruh, dan keagamaan seperti Boedi Oetomo, Taman Siswa, Sarekat Priyayi, Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persis, Al- Irsyad, ISDV, di mana di kalangan pesantren muncul pula organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916 dan Taswirul Afkar tahun 1918.

Setelah itu didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar), yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Tokoh utama dibalik pendirian Tafwirul Afkar adalah, KH Abdul Wahab Chasbullah, yang juga murid Kiai Hasyim Asy’ari. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik tantangan dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, maupun politik.

Dalam buku KH Hasyim Asy’ari Pengabidian Seorang Kiai untuk Negeri, dalam salah satu judul Resolusi Jihad dan Pengaruhnya dalam Kemerdekaan, terlihat jelas dan tegas pemihakan dirinya akan agama dan bangsanya. Presiden Soekarno melalui utusannya menanyakan hukum mempertahankan kemerdekaan kepada KH. M. Hasyim Asy’ari. Menanggapi pertanyaan ini, Kiai Hasyim menjawab dengan tegas, sudah terang bagi umat Islam untuk melakukan pembelaan terhadap tanah airnya dari ancaman asing.

Dengan tegas, KH Hasyim Asy’ari KH. M. Hasyim As’yari mengeluarkan fatwa jihad, 17 September 1945. Fatwa ini antara lain berbunyi:

(1). Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap- tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir; hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh. (Lihat Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) (Jakarta: Pustaka Compass, 2015), 205).

Tak mau tunduk pada penjajah

Ketika pemerintah pendudukan militer Jepang membentuk Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) pada Oktober 1943, yang sebagian perwira-perwiranya dijabat oleh kiai pesantren, Kiai Hasyim mengusulkan agar dibentuk satuan khusus milisi santri terlatih yang disebut Hisbullah. Permohonan Kiai Hasyim dipenuhi oleh pemerintah pendudukan militer Jepang dengan dibentuknya Lasykar Hisbullah pada November 1944.

Kader-kader didikan PETA dan Hisbullah inilah yang mendominasi militer Indonesia sewaktu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk 5 Oktober 1945. (KH Hasyim Latif, Laskar Hizbullah Berjuang Menegakkan Negara RI, LTN PB NU).

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Kiai Hasyim Asy’ari. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito titisan Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).

Seikerei juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kiai Hasyim menolak aturan tersebut, sebab hanya Allah saja yang wajib disembah, bukan manusia.

Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah- pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga tulang-tulang jari tangan kanannya patah tidak dapat digerakkan.

Untuk mewujudkan keutuhan bagsa dan kemerdekaan Indonesia. Kelihaian dakwah Kiai Hasyim dan Kiai Wahid Hasyim terus berlanjut dengan adanya Masyumi sebagai pemersatu umat Islam Indonesia saat itu. Tokoh-tokoh masyumi sangat berperan dalam perjuangan kemerdekaan, khususnya pada jalur politik dan diplomatis.

Politik memanfaatkan dengan dalih kerjasama oleh tokoh-tokoh ini terbukti memberikan jalan mulus bagi kemerdekaan Indonesia. Bayangkan jika tidak ada piranti-piranti bentukan Jepang itu, tentu akan semakin susah untuk mendapatkan kemerdekaan, hingga merumuskan dasar Negara Indonesia, Pancasila.*/Akbar Muzakki

Rep: Akbar Muzakki
Editor: Insan Kamil

No comments: