Kisah Khalifah Al-Mahdi Membangun Infrastruktur Mekkah, Masjidil Haram Ditaburi Parfum
Khalifah Al-Mahdi adalah khalifah ketiga Dinasti Abbasiyah (775-785 M). Nama dan nasabnya adalah Muhammad bin Abdullah (Al-Manshur) bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Dia biasa dipanggil Abu Abdullah dan bergelar Al-Mahdi.
Dalam Buku "The History of al-Tabari" disebutkan bahwa pada tahun 160 H, Al-Mahdi menunaikan ibadah haji . Dalam perjalanan tersebut, dia melihat berbagai kendala yang dialami oleh jamaah haji selama perjalanan dari Baghdad ke Mekkah . Dan ketika tiba di Mekkah, suasananya pun tak kalah mengkhawatirkan. Para panjaga Kakbah menyatakan kekhawatiran mereka tentang banyaknya penutup (kiswah) yang menempel di dinding dan atas Kakbah. Selain tidak elok, hal ini lama kelamaaan bisa merusak Kakbah.
Menangapi mengaduan ini, Al-Mahdi langsung memerintahkan agar Kakbah dibersihkan dari penutup-penutup yang memberatkan itu, lalu dipasangi sehelai penutup (Kiswah) saja yang melingkupi seluruh bangunan Kakbah. Dia juga memerintahkan agar seluruh wilayah Masjidil Haram ditaburi parfum. Setelah itu dia memerintahkan agar sejumlah infrastruktur di Mekkah segera dibangun.
Menurut Imam As-Suyuthi dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah", pada tahun 161 H, dimulailah proses renovasi besar-besaran terhadap Masjidil Haram dan Kota Mekkah.
Al-Mahdi memerintahkan agar dibangun jalan-jalan yang luas di samping Masjidil Haram dan membuat banyak tempat air untuk mempermudah pelayanan haji.
Dia juga memerintahkan agar memendekkan mimbar masjid dan menjadikannya sebagaimana mimbar Rasulullah SAW. Proses renovasi ini berlangsung bertahun-tahun. Pada tahun 167 H, Al-Mahdi memerintahkan agar memperluas areal Masjidil Haram dengan memperlebar ruangannya.
Di samping renovasi besar-besaran terhadap Masjidil Haram, Al-Mahdi juga memberikan perhatian pada jalur haji dari Irak ke Mekkah.
Sejak Irak menjadi pusat pemerintahan Islam dan seiring meningkatkan kemakmuran kota-kota seperti Baghdad dan Basrah, aktivitas perjalanan dari Irak ke Hijaz juga makin meningkat. Terutama ketika musim haji, jamaah haji dari Irak terbilang cukup banyak. Dengan demikian pembangunan infrastruktur yang bisa menopang perjalanan tersebut perlu juga dibuat.
Atas dasar pertimbangan itulah, pada tahun 160 H atau sesaat setelah pulang dari haji, Al-Mahdi memerintahkan agar segera membangun sejumlah infrastruktur di sepanjang jalan menuju Mekkah.
Beberapa di antaranya, dia memerintahkan agar dibangun sejumlah pos pemberhentian (semacam rest area sekarang) di beberapa titik.
Di tempat itu dibangunlah kastil, tangki air, sumur, kolam/waduk, termasuk menara api untuk menjadi semacam mercusuar ketika di malam hari.
Al-Mahdi bahkan mengangkat wali yang bertanggung jawab atas perbaikan dan pengembangan jalur ini. Proses pengerjaan proyek ini terus belangsung hingga tahun 171 H, dan akan disempurnakan oleh Zubaidah, istri Harun Al-Rasyid. Sehingga jalur ini kelak dikenal dengan nama Darb Zubaidah.
Selain renovasi terhadap Masjidil Haram, Al-Mahdi juga melakukan renovasi terhadap sejumlah masjid lain, seperti di Basrah dan Baghdad. Dia pun memerintahkan kepada para gubernurnya di berbagai wilayah agar memendekkan semua mimbar masjid sehingga sama dengan mimbarnya Rasulullah SAW.
Hal yang sama juga berlaku bagi infrastruktur, selain membangun infrastruktur haji, Al-Mahdi juga yang pertama-tama membangun jalur pos dari Irak ke Hijaz (Madinah, Mekkah, Yaman, sampai ke Hadramaut). Dengan adanya infrastruktur ini, sirkulasi komunikasi, barang dan jasa antar wilayah Kekhalifahan Abbasiyah berlangsung semakin cepat.
Ilmu Pengetahuan
Selain membangun infrastruktur wilayah, Al-Mahdi juga dikenal sebagai khalifah yang memiliki konsern pada pengembangan ilmu pengetahun.
Di masa pemerintahannya, proyek penulis kitab dan ilmu pengetahun digalakkan secara lebih intensif dari tahun-tahun sebelumnya.
Kebijakan Al-Mahdi yang pro ilmu pengetahuan juga didukung oleh penemuan kertas dari China. Sebelumnya yang digunakan itu papirus dari Mesir. Sejak penemuan kertas, kota Baghdad menjadi ramai dengan pabrik kertas yang digunakan sebagai bahan untuk menulis kitab.
Eamon Gearon dalam buku berjudul "Turning Points in Middle Eastern History" menyebut pertemuan peradaban Islam dengan teknologi pembuatan kertas ini terjadi pada tahun 133H /751M, dalam sebuah pertempuran di daerah Talas.
Ketika itu, Dinasti Abbasiyah baru saja berdiri. Mereka melakukan ekspedisi militer hingga titik terjauh, yaitu daerah Talas yang sekarang merupakan bagian dari wilayah Negara Kirgistan, di kawasan Asia Tengah. Di sinilah batas terakhir kekaisaran China di Timur dengan Abbasiyah di Barat bertemu.
Setelah lima hari berlangsung, pertempuran ini akhirnya dimenangi secara mutlak oleh pasukan Abbasiyah. Pertempuran Talas sendiri sebenarnya tidak cukup krusial bagi masing-masing pihak (China dan Abbasiyah). Tapi menjadi monumental disebabkan dalam pertempuran inilah kaum Muslimin untuk pertama kalinya mulai mengenal teknologi pembuatan kertas China.
Menurut Eamon Gearon, dalam pertempuran yang berlangsung 5 hari tersebut ribuan pasukan China dan Abbasiyah tewas, dan ribuan lainnya menjadi tawanan. Adapun di antara pasukan China yang ditawan tersebut terdapat dua orang di antaranya yang memiliki pemahaman yang tinggi tentang teknologi pembuatan kertas.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment