Kairo Dalam Era Dinasti Ayyubiyah

Shalahuddin al-Ayyubi mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Red: Hasanul Rizqa Benteng Shalahuddin di Kairo, Mesir.
Foto: dok wiki
Benteng Shalahuddin di Kairo, Mesir.
Pada 1171 M, al-Adid selaku raja terakhir Dinasti Fathimiyah meninggal dunia. Kematiannya menandakan akhir riwayat wangsa Syiah tersebut di Mesir.

Selanjutnya, Shalahuddin al-Ayyubi naik menjadi pemimpin di negeri delta Sungai Nil tersebut. Kala itu, ia masih mewakili kekuasaan Dinasti Zankiyah yang berpusat di Syam.

Tiga tahun berselang, Nuruddin Mahmud wafat. Peran dan pengaruh Zankiyah sejak saat itu kian memudar di Mesir.

Sebaliknya, Shalahuddin semakin dihormati sebagai pemimpin yang karismatik. Ketika itulah, dirinya mengeklaim gelar “Sultan Mesir.” Di kemudian hari, wilayah kekuasaannya terus meluas hingga sebagian Syam dan Hijaz.

Sejak era Shalahuddin, Kairo menggantikan Fustat sebagai pusat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat Mesir. Pada masa pemerintahannya, Saladin mendirikan kawasan benteng di kaki Bukit Mokattam, sebelah tenggara kota tersebut. Pada 1183, Benteng Kairo—demikian namanya—selesai dibangun. Sang sultan memanfaatkan fasilitas itu untuk menahan serangan Pasukan Salib yang masih mengancam Mesir. Jauh sesudah Dinasti Saladin tiada, hingga pertengahan abad ke-19 M kompleks itu terus dipakai sebagai sebuah bangunan pemerintahan.

Pasca-Shalahuddin

Pada 1193 M, pahlawan Islam dalam sejarah Perang Salib itu wafat. Sepeninggalan Shalahuddin, dinasti yang didirikannya mulai pudar. Sebagai penggantinya, naiklah para jenderal yang dahulu diangkat Saladin untuk mengisi posisi di pemerintahan dan militer. Mereka dahulunya adalah kaum budak sehingga periode ini disebut sebagai zaman Mamalik atau Mamluk (harfiah: ‘budak’) di Mesir.

Era tersebut mengubah sebagian kebijakan Shalahuddin. Sebagai contoh, dahulu sang pendiri Dinasti Ayyubiyah mendukung fatwa yang melarang penyelenggaraan shalat Jumat di dua masjid dalam satu kota. Karena itu, ibadah tersebut hanya digelar di Masjid al-Hakim bi Amrillah, Kairo. Adapun Jumatan di Masjid al-Azhar dilarang meskipun aktivitas keilmuan tetap berjalan seperti biasa.

Era tersebut mengubah sebagian kebijakan Shalahuddin. Sebagai contoh, dahulu sang pendiri Dinasti Ayyubiyah mendukung fatwa yang melarang penyelenggaraan shalat Jumat di dua masjid dalam satu kota. Karena itu, ibadah tersebut hanya digelar di Masjid al-Hakim bi Amrillah, Kairo. Adapun Jumatan di Masjid al-Azhar dilarang meskipun aktivitas keilmuan tetap berjalan seperti biasa.

Sejak Mamluk berkuasa, khususnya pada masa Ruqnuddin Baibars al-Bunduqdari, al-Azhar kembali berfungsi sebagai tempat pelaksanaan shalat Jumat. Bahkan, sesudah kemenangan Mamluk atas pasukan Mongol dalam Perang Ain Jalut tahun 1260, pamor sentra aktivitas intelektual al-Azhar kian besar. Secara keseluruhan, Kairo menggantikan reputasi Baghdad sebagai mercusuar peradaban Islam usai pusat Kekhalifahan Abbasiyah itu disapu Hulagu Khan pada 1258 M.

Ada banyak ulama yang berkiprah di al-Azhar. Di antaranya adalah Ibnu al-Haitsam (Alhazen), Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar al-Asyqalani, dan Sibth al-Maridini. Bukan hanya ilmu-ilmu agama, kajian ilmu pengetahuan umum dan sains pun berkembang di sana. Para pengajar dan mahasiswa setempat pada masa itu menelaah banyak disiplin, mulai dari matematika, astronomi, kedokteran, hingga ilmu optik.

Menjelang medio abad ke-14, Kairo menjadi salah satu kota di region Mediterania yang dilanda Wabah Pes (The Black Death). Menurut catatan Ibnu Battutah, yang mengunjungi Kairo pada 1348 M, ribuan orang meninggal akibat epidemi itu per hari di kota itu. Memasuki awal abad ke-15, jumlah populasi setempat menurun hingga 300 ribu jiwa.rol

No comments: