Sejarah Kota Kairo Hingga Era Fathimiyah

Awalnya, Dinasti Fathimiyah menginginkan Kairo sebagai kota tertutup. Red: Hasanul Rizqa ILUSTRASI Masjid Ibnu Tulun di Kairo, Mesir.
Foto: dok wiki
ILUSTRASI Masjid Ibnu Tulun di Kairo, Mesir.
Inilah salah satu kota tertua sedunia yang masih terus dihuni. Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir, diperkirakan memiliki struktur pemerintahan yang mandiri sejak abad pertama Masehi. Menurut AJ Wensinck dalam Historic Cities of the Islamic World (2008), nama asli daerah tersebut adalah Mishr atau Mashr, yang kemudian dipakai untuk merujuk keseluruhan negeri itu sendiri: Mesir. Nama itu diambil dari Mishram bin Ham, seorang cucu Nabi Nuh AS, sebagaimana yang dikisahkan dalam teks Taurat atau Perjanjian Lama. Orang-orang Mesir tidak jarang menyebut kota itu sebagai Mashr al-Qahirah.

Sebutan al-Qahirah, yang kemudian menurunkan Kairo, datang lebih belakangan. Nama itu merupakan pemberian dari Sultan al-Mu’izz Lidinillah. Pada 973 M, raja Dinasti Fathimiyah itu memindahkan ibu kota negerinya dari Tunisia ke sana. Selengkapnya, kota baru itu dinamakannya al-Qahirat al-Mu’izziyyah. Artinya, ‘(kota milik) sang penakluk, al-Mu’izz.’

Akan tetapi, sosok yang menaklukkan Kairo secara langsung bukanlah sultan itu, melainkan seorang jenderalnya yang bernama Jauhar al-Shiqilli. Pada 969 M/358 H, panglima perang Fathimiyah itu berhasil memimpin pasukannya untuk memasuki Mesir. Dari Iskandariah, mereka berarak ke selatan hingga sekitaran Kota Fustat. Dalam beberapa pekan, pusat pemerintahan Dinasti Ikhlisiyidun itu dapat dikuasainya. Maka seluruh negeri tersebut jatuh ke tangan dinasti yang berpaham Syiah Isma’iliyah itu.

Pada 8 Agustus 969 M atau 22 Ramadhan 358 H, Jauhar mendirikan kota baru di sebuah lahan luas yang berlokasi sejauh 6 km dari arah utara Fustat. Bangunan yang pertama kali dibuatnya di sana adalah istana besar yang terletak di sisi timur. Kawasan itu dimaksudkannya sebagai tempat tinggal raja dan para pegawai pemerintahan Dinasti Fathimiyah. Selanjutnya, ia membangun istana lainnya yang berukuran lebih kecil di sisi barat. Kedua kompleks itu dipisahkan oleh sebidang alun-alun.

Sesudah menerima berita tentang penaklukan Mesir, Sultan al-Mu’izz berangkat dari Mahdiyah, Tunisia, tempat istana lamanya berada. Begitu sampai di tujuan, ia diterima dengan penuh penghormatan oleh Jauhar. Kota buatan panglimanya itu kemudian diklaimnya sebagai ibu kota negeri. Sejak saat itu, kota tersebut memiliki nama baru, yakni al-Qahirat atau Kairo.

Menurut Ahmad Rofi’ Usmani dalam Jejak-jejak Islam (2015), sang raja Fathimiyah pada awalnya menginginkan Kairo sebagai kota yang tertutup bagi masyarakat luas. Untuk mereka, pihaknya menyediakan tempat tinggal di Fustat, yakni kota besar yang berdiri sejak era Amr bin Ash, sahabat Nabi Muhammad SAW yang membebaskan Mesir pada 642 M/21 H. Karena itu, al-Mu’izz membangun tembok benteng di sekeliling kota, seperti yang dilakukannya para pendahulunya di Mahdiyah.

Selama periode Fatimiyah, Fustat mencapai masa keemasan, terutama dalam bidang perekonomian. Kota yang berusia jauh lebih tua daripada Kairo itu dihuni penduduk kelas menengah dan atas. Umumnya, mereka tinggal di rumah-rumah bertingkat, yang terdiri atas tiga hingga tujuh lantai. Satu gedung dapat menampung lebih dari 300 orang. Biasanya, pemilik bangunan-bangunan itu adalah para pedagang kaya, sedangkan penyewa kamar-kamar di dalamnya merupakan kaum pekerja.rol

No comments: