INkuisisi
Sebelum
Barat ingin membenci Islam dengan menyebutnya sebagai agama teroris,
mereka harus ingat bagaimana relasi Barat-Kristen dengan Islam di abad
ke-13 M.
Azis Anwar Fachrudinin
Seperti yang diceritakan oleh Karen Arsmtrong dalam Muhammad: A Biography of the Prophet. Bab pertama buku itu mengandung sepenggal analisis mengapa orang Barat menganggap Islam sebagai agama teror dan pemasung kreatifitas serta kebebasan berpendapat sejak kasus Salman Rushdie, penulis novel “Satanic Verses”.
Tahun
1988, di Bardford, Inggris, kaum Muslim membakar novel itu. Orang Barat
heran, bertanya: bagaimana sebuah novel fiksi bisa menimbulkan reaksi
sedemikian rusuh, bahkan sampai pemimpin Syiah-Iran, Ayatollah Khomeini,
meluncurkan fatwa hukum mati kepada penulisnya? Armstrong -yang
sepertinya memang ingin membela umat islam- mengingatkan orang Barat
bahwa mereka pun harus ngaca pada sejarah mereka sendiri.
Tahun
1242, Raja Louis ke-9 dari Prancis, yang juga santa gereja Katolik Roma,
pernah melayangkan larangan peredaran kitab Talmud yang berisi
penghujatan terhadap pribadi Kristus. Si Louis ini adalah pembenci getol
Yahudi. Ia jua lah orang yang pertama memulai inkuisisi untuk kaum
pembuat bid’ah (penyimpangan) dalam Kristen. Di samping Yahudi, dia juga pembenci Muslim. Dalam sejarah Kristen, Islam juga menjadi sebentuk bid’ah: sempalan dari Kristen.
Di
zaman Louis, bukan Islam, tapi Barat-Kristen yang sulit berdampingan
dengan agama lain. Kata Armstrong, Islam menjadi mercusuar peradaban.
Dan, sebagaimana sudah menjadi sunnatullah dalam sejarah,
peradaban tinggi akan selalu menjadi tolok ukur dan ditiru oleh
peradaban lain yang lebih “rendah”, termasuk saat itu, adalah orang
Nasrani.
Banyak orang nasrani yang mempelajari budaya Arab, bahasa Arab, dan ber-style
ke-arab-arab-an. Orang-orang Nasrani Spanyol (ingat Khilafah Umayyah
jilid II saat berkuasa di sini!) yang ke-arab-arab-an itu sering disebut
dengan “mozarabs” atau “arabisers”.
Di
masa Islam berkuasa, umat Kristen hidup damai berdampingan dengan umat
Islam. Hingga datanglah, seorang biarawan bernama Perfectus, yang
mencaci-caci Nabi Muhammad –lalu, dengan beberapa konflik konspiratif,
ia akhirnya di hukum mati. Kelakuan si Perfectus itu, diikuti oleh para
penganut fanatik Kristen lainnya, para pembeci akut Nabi Muhammad.
Mereka dijuluki sebagai “martir Kordoba”. Para martir itu, seolah
seperti para jihadis yang tak takut nyawa melayang, memang sengaja
mencaci-maki Nabi Muhammad. Para martir itu, tak kurang ada 50-an orang.
Sebenarnya
tidak ada undang-undang anti propaganda Kristen di kerajaan Islam,
sejauh tidak menyerang figur tercinta, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tapi,
tetap saja kenyataan tidak dapat dielakkan, bahwa di bawah komando dua
pendeta bernama Eulogio dan Paul Alvaro, para martir ditahbiskan sebagai
“prajurit Tuhan”.
Eulogio dan Alvaro percaya bahwa kebangkitan Islam merupakan persiapan kedatangan sang anti-Kristus, sosok penipu ulung (great pretender) yang digambarkan dalam kitab Perjanjian Baru, yang kekuatannya akan membesar di hari-hari terakhir.
Dalam
ramalan Kristen, Yesus akan kembali sampai terjadinya “kemurtadan
besar”: sebuah pemberontakan akan menetapkan pemerintahannya di Temple
of Jerusalem dan menyesatkan banyak orang Kristen dengan
doktrin-doktrinnya yang tak masuk akal. Book of revelation menandai bahwa peristiwa itu akan terjadi pada tahun 666 (simbol akan setan) dan memahkotai dirinya di “Tembok Ratapan”.
Islam
mewujudkan ramalan itu hampir sempurna. Kaum Muslim menaklukan Jerusalem
tahun 638 (meleset 38 tahun dari ramalan) lalu membangun masjid Umar
ibn al-Khattab di Temple Mount (dekat Tembok Ratapan). Banyak orang
Kristen di sana kemudian beralih ke agama Islam –inilah yang disebut
kemurtadan besar itu, great apostacy. Mulai saat itu, bara
permusuhan Kristen kepada Islam semakin memanas. Biografi tentang Nabi
Muhammad yang dipenuhi rasa benci lahir. Nabi Muhammad digambarkan
sebagai seorang penipu, maniak seks, teroris, pembawa pedang yang
bengis, pembantai, dan sebagainya. Kisah negatif ihwal Nabi Muhammad
bahkan merasuk ke dalam cerita yang didongengkan kepada anak-anak kecil.
Setelah melalui banyak masa, termasuk Perang Salib, cerita tentang Nabi Muhammad versi para pemimpin agama Kristen dikisahkan turun-temurun, dengan beberapa penambahan dan pengurangan. Ada yang semakin obyektif, ada pula yang semakin ekstrim, jauh panggang dari api. Tapi satu hal yang pasti, argumen-argumen dari kisah itu semakin canggih.
Di luar cerita itu, satu hal yang ingin saya tekankan di sini adalah: bahwa dalam setiap sejarah agama, peristiwa inkuisisi hampir selalu menyertai. Ketika agama menjadi mazhab negara, dan penguasa mensahkannya sebagai agama resmi negara, maka inkuisisi seolah selalu ada dalam sejarah negara itu.
Di
Kristen ada inkuisisi oleh Raja Louis ke-9, juga diikuti oleh pemimpin
agama gereja Roma –satu hal yang turut menjadi stimulan muncunya gerakan
reformasi Kristenala Martin Luther. Sejarah Islam juga pernah
mencatatkan peristiwa inkuisisi: mihnah. Yakni, ketika mazhab
Mu’tazilah sempat menjadi mazhab resmi Khilafah Abbasiyah, yang mencapai
masa puncaknya saat Khalifah al-Ma`mun berkuasa. Banyak ulama Ahlus
Sunnah yang dibantai, dipaksa ikut Mu’tazilah.
Maka
pertanyaannya, benarkah menjadikan agama sebagai ideologi resmi negara?
Mungkin iya, kalau bisa setoleran masa Umayyah II di Kordoba itu. Tapi,
kita perlu berpikir berulang-ulang saat melihat fenomena keberagamaan
Islam kini yang harus menghalau virus takfir. Jangan-jangan, justru bisa muncul inkuisisi model baru: membasmi mereka yang berbeda hanya dalam satu-dua proposisi keagamaan.
Azis Anwar Fachrudinin
No comments:
Post a Comment