Paganisme
Kita
mulai dengan Bani Khuza’ah. Khuza’ah merupakan salah satu klan turunan
suku Kahlan, yang beremigrasi dari Yaman sejak bendungan Ma’rib jebol,
kira-kira pada 150 M, atau empat abad menjelang kelahiran Nabi Muhammad
Saw.
Azis Anwar Fachrudin
Khuza’ah
sebelumnya tinggal di sekitaran Mekkah. Diriwayatkan, klan ini
menguasai Mekkah setelah suku Jurhum berhasil diusirnya. Jurhum,
sebagaimana disebut dalam literatur Islam klasik, berada di Mekkah
–bahkan- sejak masa Ismail as.
Jurhum yang terusir lalu mengubur mata air Zamzam bersama Batu Hitam (al-hajar al-aswad)
dan dua patung rusa emas –mungkin karena khawatir “dieksploitasi” oleh
Khuza’ah. Di kemudian hari, setelah Khuza’ah berhasil dipinggirkan ke
luar Mekkah oleh puak Quraisy, Qushay, ada satu dari keturunannya, –yang
menurut sebagian riwayat- Abdul Muthalib, menemukan lagi timbunan
Jurhum itu.
Cerita
Jurhum itu menyisakan kemusykilan. Asumsinya bermula dari satu
hipotesis: bahwa Romawi dan Persia tidak tertarik mengkolonialisasinya.
Padang pasir Arab itu gersang, tentu saja. Dan tiada peradaban, itu
mungkin.
Tapi
keberadaan Jurhum dan mata air Zamzam, pada saat yang sama, mematahkan
asumsi itu. Berarti ada masyarakat di sana. Keberadaan mata air di
gundukan pasir semestinya menyedot perhatian suku-suku Arab lain,
terlebih Badui.
Lagi
pula, jika masa Ismail dihitung mulai abad 18 SM, maka sama dengan
Jurhum bertahan hingga hampir 2000 tahun; hitungan yang amat lama bagi
survival suku padang pasir di masa itu. Juga Mekkah, yang disebut pula
“Bakkah”. “Bakkah” boleh jadi berarti “kota”. Analoginya: Ba’al-bakka,
kota dewa Ba’al.
Dan
Ba’al yang dibawa pemimpin Bani Khuza’ah, ‘Amr ibn Luhay, itu menandakan
interaksi budaya. Konon, ia membawa Ba’al dari daratan Syam, di wilayah
Bulan Sabit Subur, mungkin dari lembah Kanaan (Palestina) atau Dimasyq
(Suriah). ‘Amr ibn Luhay adalah “agen peradaban” keberhalaan bagi
kawasan Hijaz.
Sebagian
kita ingat, Yaman dan Syam dulu bagai dua tanduk peradaban,
utara-selatan, di Timur Tengah, dengan daratan gersang Arabia di
tengah-tengahnya. Mekkah dan Yatsrib waktu itu adalah jalur “sutra”
perdagangan keduanya -barangkali ini yang dimaksud dengan rihlah asy-syita` wa as-shaif (perjalanan dagang musim dingin dan panas) dalam Surat al-Quraisy.
Dari Syam, ‘Amr “mengimpor” si Ba’al itu. Lalu satu dialek suku Arab menyebutnya “Hubal”, mungkin gabungan dari huwa Ba’al,
“dia Ba’al”. Ba’al berarti “tuhan”, yang punya istri namanya Ashera
-mungkin sama atau diambil dari nama dewi Hera di Yunani. Hubal, menurut
Philip K. Hitti dalam History of the Arabs, berarti “spirit, roh”.
Sumber
lain, dari Montgomery Watt misalnya, menyebut Hubal sebagai dewa bulan,
yang beristrikan Eliat, dewi matahari. Keduanya kemudian beranak:
al-Lata yang lalu ditempatkan di Thaif, al-‘Uzza di Wadi Nakhlah, dan
al-Manat di Musyallal, di tepi Laut Merah. Saya tidak tahu, mengapa
anak-anak kedua “tuhan” itu perempuan semua. Saya juga tidak tahu persis
bagaimana hubungan sistem religi paganisme ini dengan kredo “tuhan yang
beranak” dari Syam itu.
Tapi
tentang bulan yang lelaki dan matahari yang perempuan itu jangan-jangan
menandakan pernah ada pertemuan peradaban. Demikian ini jika tesis yang
digunakan adalah universal: sistem religi dengan kosmos sebagai
paradigma mendasar kredonya adalah naluri fitrah manusia-manusia (kuno).
Ingat Mesir dengan “all-seing-eye”-nya.
Juga Sinto di Jepang, dengan dewa mataharinya, Amaterasu. Atau juga di
Jawa, dengan Bathara Surya –meski yang terakhir ini jelas lelaki, sebab
ia mengawini seorang manusia perempuan, Dewi Kunti, lalu memiliki anak,
Adipati Karna.
Bulan,
dalam pikiran orang Arab kuno, merepresentasikan maha keindahan. Jarang
ditemukan dalam puisi Arab, matahari sebagai tamsil bagi keindahan.
Dalam syair shalawat, kebanyakan Nabi dipuji dengan umpama bulan.
Misalnya, syair yang didendangkan saat penduduk Madinah menyambut Nabi
dari arah Tabuk -bukan saat tiba setelah hijrah dari Mekkah: thala’a al-badru ‘alaina, min tsaniyyat al-wada’. “Bulan telah terbit di atas kita, [datang] melalui lembah-lembah Wada.”
Dewa
bulan, dengan demikian, adalah “maha” dewa Arab kala itu. Hubal adalah
tuhan tertinggi jahiliyah. Ia berdiri di samping Kakbah, mengepalai 360
berhala lainnya. Lalu Batu Hitam itu, dalam sistem paganisme, adalah
batu yang jatuh dari bulan. Maka ia banyak dicium, diusapi oleh para
penyembah berhala: untuk mendapat berkah.
Tapi konsep berkah atau tabarruk,
dengan mengusap dan mencium, juga ada akar tuntunannya dalam Islam.
Haji adalah ritual jahiliyah, sekaligus ritual Islam. Tentu saja, dengan
garis pembeda antara syirk-politeis dan tauhid-monoteis.
Tradisi
agama memang kerap mengambil-menyerap-membuang-mengisi suatu tradisi
masyarakat di mana agama itu tumbuh. Tak terkecuali Islam. Batu Hitam
itu bersifat divine, baik dalam jahiliyah maupun Islam. Dalam
Islam, ia memiliki ambiguitas penafsiran antara hakiki dan metaforis.
Juga kesan dilematis antara rasionalitas dan taklid:
“Aku tahu kamu hanya batu, yang tak bisa memberi
mudarat juga manfaat,” demikian kata Umar ibn al-Khatthab kepada Batu
Hitam itu. “Sekiranya aku tidak melihat sendiri Rasulullah menciummu,
maka aku pun tak akan menciummu!”
Azis Anwar Fachrudin
No comments:
Post a Comment