Mallaby, dibalik Tewasnya Sang Jenderal di Surabaya
Mobil AWS Mallaby
Gedung Internatio dari arah Jembatan Merah
Mallaby adalah seorang Perwira Muda Eksekutif Kerajaan Inggris dengan karir cemerlang. Lahir pada 12 Desember 1899, Mallaby harus menutup usianya menjelang ulang tahunnya yang ke-46 di Jembatan Merah Surabaya dalam latar belakang yang sangat pelik saat itu.
Mallaby berpangkat Brigjen, komandan Brigade Infanteri ke-49 Divisi ke-23, Korps Tentara ke-15 Inggris Raya. Berkekuatan 6000 Prajurit Infanteri yang merupakan batalyon tempur spesialis perang kota dan spesialis persenjataan berat dan telah memenangkan pertempuran melawan Jepang di Birma sampai Semenanjung Malaya serta memenangkan perang melawan tentara Jerman di Afrika utara. Mendarat di Pelabuhan Perak Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 petang hari bersama 3 kapal pengangkut pasukan serta beberapa kapal destroyer bersenjata lengkap.
Mallaby adalah perwira yang merintis karir sebagai perwira staf. Mallaby sangat terampil dalam menjalankan segala macam penugasan sehingga pada usia 42 tahun mendpat promosi Jenderal berbintang satu. Selama perang dunia kedua, Mallaby menjabat perwira staff kepercayaan Laksamana Mountbatten, panglima tertinggi atas Komando Asia Tenggara (SEAC = South East Asia Command).
Asumsi Mountbatten menugaskan Mallaby adalah tugas menertibkan Surabaya sebagai kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara, pangkalan laut terpenting tetapi dengan resiko kegagalan terkecil. Informasi yang dipegang oleh Intelijen SEAC di Singapura menyebutkan “Surabaya hanya akan dipertahankan oleh rakyat awam yang sama sekali belum bisa memegang senjata api dengan benar. Selain itu, mereka menamakan diri pemerintahan Republik Indonesia dan sama sekali belum memiliki pasukan militer.
Surabaya, tanggal 26 Oktober 1945. Shri Mani, seorang humas Brigade Infanteri ke-49 melukiskan Surabaya pada saat itu cerah cukup cerah. Kehidupan berjalan normal dengan para pedagang dan becak hilir mudik tidak menghiraukan kedatangan tentara Mallaby. Shri Mani menggambarkan masyarakat Surabaya yang acuh-tak acuh tapi penuh kewaspadaan. Slogan-slogan anti kolonial di seluruh penjuru kota dicat dengan huruf-huruf besar pada tembok-tembok berbagai tempat strategis menyapa Tentara Inggris dengan sangat angkuh. Tampak jelas pesan dalam bahasa Urdu “Azadi ya Kunrezi” yang berarti Merdeka Atau Mati. Terpampang pada tembok-tembok pelabuhan dan dermaga di Surabaya. Jelas pesan itu ditujukan pada mereka tentara Mallaby yang memang berasal dari India.
Shri Mani bersama Letnan Tony Cardew, seorang perwira Angkatan Laut Inggris dengan mengendarai jip memasuki kota menuju tempat penginapan mereka di Hotel Liberty. Sepanjang jalan mereka melihat dijaga ketat oleh polisi dan para pemuda bersenjata lengkap. Barikade-barikade sengaja didirikan ditengah-tenah jalan untuk menghambat arus lalu lintas. Ucapan selamat pagi yang Shri Mani sampaikan tak pernah dibalas oleh para pemuda. Tidak seperti di Jakarta, dimana penduduknya menyambut pasukan Inggris dengan ramah. Surabaya sangat berbeda, Tidak ada isyarat ramah sedikitpun. Demikianlah keterangan Shri Mani dalam bukunya, The Story of Indonesian Revolution, 1945-1949. Buku tersebut kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 1989 oleh PT. Pustaka Utama Grafiti dengan judul Jejak Revolusi 1945.
Shri Mani tentu tidak menyadari bahwa sehari sebelum mendarat, telah terjadi ketegangan antara tentara Inggris dan para Pejuang di Oedjoeng. Ketika kapal-kapal Inggris tersebut akan memasuki Teluk Surabaya, mereka mengirim kode morse dengan isyarat lampu menanyakan situasi sekaligus memohon pihak penguasa pelabuhan untuk memandu pendaratan. Ternyata disini terjadi kesalahan komunikasi. Pasukan Republik selaku pengawal pantai tidak memahami kode-kode lampu tersebut. Sebaliknya pihak Inggris mengira Pelabuhan masih dikuasai pasukan Jepang. Pimpinan militer Inggris sama sekali tidak menduga bahwa Pelabuhan bahkan seluruh penjuru kota Surabaya telah berada sepenuhnya dalam kekuatan massa rakyat.Tetapi missed komunikasi tersebut tidak berkepanjangan, Markas TKR Kaliasin segera mengirim utusan ke Oedjoeng untuk bergerak ke Perak. Roeslan Abdoelgani bersama Des Alwi serta beberapa staff berangkat menuju ke Perak. Para pemuda meminta agar Inggris jangan terlebih dulu mendarat. Sementara seorang perwira Inggris dengan nada tinggi menegaskan. “We do not receive order from no body, … we are going on land”
Akhirnya pihak Inggris dipimpin Kolonel Carwood disertai beberapa perwira Inggris melakukan perundingan dengan para pemuda. Permintaan mereka adalah bendera Merah Putih harus diganti dengan bendera Inggris Union Jack. Wilayah pantai sejauh 200 meter harus dikosongkan agar mereka leluasa mendaratkan pasukan. Tetapi perwakilan Republik menolak karena bendera Merah Putih hanya bisa diturunkan atas perintah Pemerintah Pusat. Pengosongan wilayah pantai tidak mungkin karena diperlukan masyarakat setempat.
Penolakan ini menimbulkan kemarahan tentara Inggris dan mereka mulai mengeluarkan ancaman dan intimidasi. Bila bendera Merah Putih tidak diturunkan dalam 5 menit akan dikeluarkan perintah penembakan dari kapal. Tetapi seketika itu juga mereka menunjuk petugas untuk menurunkan bendera Merah Putih diluar gedung perundingan dan menggantinya dengan Union Jack.
Sungguh kondisi sangat pelik bagi Mallaby saat itu. Dia tak menyangka Jepang sudah dilucuti rakyat di Surabaya. Perundingan terus dilakukan mulai tanggal 25 Oktober hingga 26 Oktober 45. Mulai dari ijin penempatan pasukan sejauh 800 meter hingga ijin untuk mengevakuasi tentara Jepang yang telah menjadi tahanan rakyat Surabaya. Hasil perundingan pada 26 Oktober 1945 cukup melegakan semua pihak. Kesepakatan tersebut adalah
1. Pasukan Inggris akan melucuti tentara Jepang dan mengangkut mereka keluar Surabaya. Pelucutan senjata hanya berlaku kepada pasukan Jepang. Setelah itu mereka akan dievakuasi keluar Surabaya melalui laut.
2. Pasukan Inggris akan mengangkut dan mengatur eks interniran sekutu terutama anak-anak dan perempuan yang masih tersisa di Surabaya.
3. Stabilitas keamanan di Surabaya adalah tanggung jawab bersama.
Hingga sesaat setelah tercapai kesepakatan, Tentara Inggris menyebar di seluruh penjuru Surabaya seperti Gedung Internatio, Rumah Sakit Darmo, Hotel Brantas Kajoon, Gedung Aniem Gemblongan, Kantor besar Kereta Api Semoet, Gedung Radio Republik Indonesia, Kantor kesusteran Boeboetan, serta menempati tempat-tempat strategis seperti Darmo, Sawahan, Stasiun Kereta Api Goebeng, HBS, Kantor Polisi Boeboetan, Ketabang dan Kalisosok.
Setelah kondisi mulai kondusif, tiba-tiba pada Jam 11 Tanggal 27 Oktober 1945 sebuah pesawat terbang berputar-putar di atas Surabaya dan menyebarkan ribuan pamflet ancaman, “… seluruh rakyat Soerabaja harus mengembalikan semua senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat”. Pamflet tersebut dibuat di Jakarta dan ditanda tangani oleh Mayor Jendral HC Hawthorn pimpinan Mallaby.
Mallaby tentu merasa ditampar. Pamflet yang disebar lewat udara itu adalah kiriman langsung dari Jakarta. Mallaby tertunduk dan menyatakan sikap harus mentaati instruksi pimpinan di Jakarta. Sementara para pimpinan rakyat di Surabaya juga kecewa dengan sikap Mallaby. Moestopo dan Residen Soedirman mulai kehilangan kepercayaan bahwa Inggris akan tetap mematuhi isi perjanjian.
Mallaby sendiri mengakui penyebaran pamflet itu adalah sebuah kecerobohan. Sementara Mallaby berusaha mencari jalan keluar, Mallaby juga tidak melarang Moestopo yang menyampaikan pengumuman lewat radio bahwa pamflet tersebut adalah keputusan Panglima Inggris di Jakarta sehingga kesepakatan di Surabaya tetap berlaku.
Sangat disayangkan, pidato Moestopo di radio sudah terlambat. Semenjak pamflet disebar ke penjuru kota, Surabaya dalam sekejap mendadak sunyi senyap. Kewaspadaan meningkat dan tentara-tentara Inggris yang sudah tersebar di seluruh penjuru kota melakukan penggeledahan setiap kendaraan yagn lewat. Suasana semakin memanas setelah pasukan Inggris menyita semua kendaraan dan menyuruh para penumpang keluar dari kendaraan.
Tak banyak diketahui oleh orang banyak bahwa pada tanggal 27 Oktober 1945 Mallaby menulis surat kepada istrinya. “Panglima di Jakarta merusakkan segalanya dengan menyebarkan pamflet berisi ultimatum dari pesawat yang tinggal landas dari Batavia tanpa memberitahukan isinya lebih dulu kepadaku. Pamflet ini adalah tamparan yang sangat memalukan bagiku sebagai perwira tinggi.”
Akhir dari tragedi ini telah kita ketahui bersama. Pada tanggal 28 Oktober 1945 jam 5 sore pecah perang antara rakyat di Surabaya melawan tentara Mallaby setelah sebelumnya sempat terjadi insiden tembak-menembak secara sporadis di penjuru kota. Alhasil kekuatan Mallaby yang terpecah-pecah dipenjuru kota dengan mudah dilibas oleh kekuatan rakyat di Surabaya. Beberapa sumber menuliskan bahwa tentara elit Inggris tersebut disapu bersih oleh pemuda Surabaya meskipun jatuh korban di pihak Republik sangat banyak. Meskipun sebagian besar pemuda di Surabaya pada saat itu masih banyak yang belum tahu cara memegang senjata dan belum tahu cara melempar granat.
Di saat-saat kritis, Mallaby meminta bantuan hingga Letjen Sir Philip Christinson Panglima Pasukan Sekutu Asia Tenggara yang bertempat di Singapura segera memberi perintah “Ajak Soekarno dan Hatta ke Surabaya. Lewat bantuan mereka, minta pasukan Republik untuk melakukan gencatan senjata.
Tanggal 29 Oktober 1945 jam 11 siang, Soekarno, Hatta dan Menteri Amir Sjarifudin mendarat di Morokrembangan atas permintaan Letjen Sir Philip Christinson menggunakan pesawat RAF (Royal Air Force). Sore hari di Gubernuran tampak raut wajah Mallaby sangat gelisah. Hingga disepakati gencatan senjata sore itu juga. Pembicaraan gencatan senjata sore itu kemudian berlanjut esoknya antara pimpinan Republik dengan Mayor Jendral DC Hawtorn baru tiba di Surabaya pagi 30 Oktober 1945.
Kesepakatan antara Bung Karno dengan Mayjen DC Hawtorn telah tercapai. Perundingan selesai pada 30 Oktober 1945 jam 13.00. Untuk menyebarkan hasil kesepakatan tersebut keseluruh penjuru kota, dibentuklah anggota Biro yang terdiri dari pihak Inggris dan Republik. Berdasarkan kesepakatan, anggota Biro Kontak beriring-iringan dalam 8 mobil menuju tempat ptertempuran yang masih terjadi dengan tujuan menghentikan tembak menembak.
Mobil pertama berisi polisi dengan bendera Merah putih, mobil kedua berisi Residen Soedirman dan Mallaby, Mobil ketiga berisi Roeslan Abdulgani, Mohammad dan dua perwira Inggris dan disusul anggota-anggota Biro Kontak lainnya.
Lindeteves Jalan Pahlawan (Bank Mandiri sekarang)
Gedung Internatio Jembatan Merah
Sesampai di Lindeteves jalan Pahlawan ternyata tembak menembak sudah mereda. Konvoi Biro Kontak melanjutkan perjalanan ke Gedung Internatio. Sesampai di depan Gedung Internatio sekitar jam 17.15 keadaan sudah remang-remang karena asap mesiu dan matahari yang mulai jatuh ke ufuk Barat. Beberapa letusan senjata masih terdengar. Rakyat beramai-ramai mengerumuni mobil rombongan Biro Kontak dan meminta mereka pasukan Inggris yang berada di Gedung Internatio untuk menyerah. Menghadapi tersebut Residen Soedirman, Soengkono dan Doel Arnowo secara bergantian menjelaskan bahwa tuntutan tersebut sulit dipenuhi karena kedua pihak telah terikat dengan perjanjian Soekarno-Hawtorn.
Setelah kondisi sempat teratasi, Rombongan Mobil Kontak Biro saat mendekati Jembatan Merah mendapatkan kondisi kembali memanas. Ketegangan meningkat karena terdapat massa radikal yang menginginkan tentara di dalam Gedung Internatio menyerah. Dalam kondisi panas muncul desakan agar Brigadir Jenderal Mallaby dan staff Biro Kontak masuk gedung Internatio untuk menyerukan penghentian tembakan. Mendadak ada usulan spontan yang tidak diketahui asalnya berteriak “Jangan Inggris tua pak, itu saja yang muda suruh masuk”.
Menanggapi teriakan tersebut Mallaby memerintahkan Kapten Shaw sebagai utusan. Diikuti pimpinan TKR Jendera Mayor Muhammad Mangundiprojo serta pemuda keturunan India Kundan mengikuti Kapten Shaw. Kapten Shaw, Mayor Jenderal Muhammad dan Kundan diberi waktu 10 menit untuk menjelaskan kesepakatan Soekarno Hawtorn. Sesampai di pintu gerbang Gedung Internatio, pistol di pinggang Muhammad diminta oleh penjaga dan kemudian Muhammad Mangoendiprojo serta pemuda Kundan diijinkan mengikuti Kapten Shaw menuju lantai dua Gedung Internatio.
Tetapi ternyata setelah di tunggu beberapa saat dan batas waktu 10 menit yang telah diberikan hampir habis, Muhammad dan Kundan justru melihat tentara Inggris mengarahkan mortir menuju sederetan mobil Biro Kontak. Saudara Kundan berbisik kepada Muhammad bahwa Inggris tidak bisa dipercaya lagi kemudian bergegas meninggalkan Muhammad di ruang tunggu. Sementara Muhammad tidak bisa meninggalkan ruang tunggu karena dua penjaga dengan senapan otomatis memberi isyarat agar dia tetap duduk. Beberapa saat kemudian ditembakkan mortir dari dalam Gedung Internatio. Salah satu tembakan tersebut mengenai mobil Mallaby yang sebenarnya juga mobil yang ditumpangi oleh Residen Soedirman. Mortir-mortir tersebut segera mendapatkan balasan tembakan dari rakyat Surabaya.
Pada jam 21 malam, terdengar teriakan dari loudspeaker berupa seruan menghentikan tembakan kepada massa. Dijelaskan bahwa pada esok hari tentara Inggris segera menginggalkan Gedung Internatio dan menyerahkan kepada TKR. Saat itu pula sudah terdengar kabar bahwa Jenderal Mallaby tewas di dalam mobil. Sementara perwira pendampingnya berhasil menyelamatkan diri.
Sementara kondisi di dekat Jembatan Merah saat itu, serentetan tembakan dan mortir yang dilepas dari arah Gedung Internatio menyebabkan banyak jatuh korban diantara rakyat dan pemuda Surabaya. Ditengah kekacauan tersebut masing-masing menyebar mencari selamat sendiri-sendiri. Beberapa melompat masuk kali mas untuk berlindung. Sementara itu secara serentak para tokoh Biro Kontak yang berhasil lepas dari tembakan musuh bertanya “Dimana Pak Dirman (Residen Soedirman)?”
Pak Dirman telah diamankan oleh beberapa Pemuda Pasukan Sukarela dan telah menyeberang ke arah Kembang Jepun. Pemuda tersebut juga melakukan aksi penyelamatan anggota Biro Kontak dari tembakan tentara Inggris dari dalam Gedung Internatio.
Sementara itu dari beberapa pemuda yang berhasil menyelamatkan diri dan melompat ke pinggir Kalimas mendekat ke anggota Biro Kontak dan berbisik.
“Pak, Sudah beres.”
“Lho, apanya yang sudah beres?” tanya Doel Arnowo.
“Jenderalnya Inggris Pak, yang tua itu. Mobilnya meledak dan dia mati terbakar”
“Siapa yang meledakkan? tanya Doel Arnowo cs dari Biro Kontak
“Tidak tahu , tiba-tiba ada granat meledak dari dalam mobil. Tetapi memang dari pihak kita, juga ada yang menembak ke arah mobil tersebut”. Demikian penjelasan pemuda tersebut.
Kondisi memang sangat kacau pada saat itu. Berdasarkan keterangan RC Smith , pengawal Mallaby, menyebutkan. Saat itu Bahwa memang Mallaby mati ditembak oleh pemuda republik sementara dua perwira pengawalnya saat itu (RC Smith dan TL Laughland) tiarap didalam mobil. Setelah meyakini Mallaby tewas, RC Smith melempar sebuah granat kearah belakang mobil dimana terdapat dua pemuda Republik. Setelah itu kedua pengawal Mallaby tersebut melarikan diri dan melompat ke sungai Kalimas dan menunggu selama 5 jam disana. Kemudian dimalam hari RC Smith berhasil mencapai garis pertahanan pasukan Inggris di Pelabuhan Tanjung Perak.
Kematian Mallaby memancing kemarahan Inggris. Hingga akhirnya Inggris menghukum Indonesia dengan mengerahkan semua kekuatannya yang jauh lebih besar dan dahsyat untuk menggempur kota Surabaya.
Sumber :
Wikipedia.
Des Alwi, Pertempuran Surabaya 1945.
No comments:
Post a Comment