Benteng Misterius VOC Di Pasar Ikan Jakarta, Ditemukan 2 Meter di Bawah Laut

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada bulan Mei 2016 lalu, memindahkan warga di daerah Luar Batang, Jakarta Utara dan sekitarnya, untuk mengembalikan kawasan Kampung Akuarium, Pasar Ikan, Penjaringan dan sekitarnya menjadi seperti semula.
Dalam prosesnya, mereka menemukan Benteng Bastion peninggalan zaman Belanda (VOC) di sekitar lokasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta langsung menggandeng tim arkeolog dari Universitas Indonesia (UI).
Ditemukan Beberapa Bangunan Kuno
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengatakan bahwa waktu penggalian, sudah ditemukan dinding yang pintunya bulat. Ternyata (benteng) sudah tenggelam dua meter di bawah muka laut, dan ada fotonya zaman Belanda. Panduannya adalah foto-foto kawasan Pasar Ikan pada tahun 1800-an tersebut.
Dilokasi, Ahok juga memberikan contoh sambil menunjuk ke sebuah pos penjaga peninggalan asli VOC untuk berdiri prajurit. Bentuk yang asli itu masih ada, tetapi ternyata ada yang di bawah, alias tenggelam di bawah air laut, termasuk pintu bulatnya.
Penggalian untuk restorasi ini akan dilakukan di beberapa titik, karena yang ditemukan bukan hanya bagian benteng, misalnya ditemukan pula seperti pintu gerbang benteng.
Selain benteng, pada zaman VOC Belanda dahulu juga terdapat jembatan di kawasan tersebut. Pemprov DKI Jakarta sudah menggali untuk memperdalam sungai, ternyata ditemukan juga pondasi jembatan. Sesuai dengan foto tua kawasan tersebut memang memiliki jembatan.


North Batavia in 1840
North Batavia in 1840
Bangunan Kuno Akan Dikembalikan Seperti Semula
Meski benteng sudah tenggelam, Pemprov DKI Jakarta tetap akan melakukan restorasi dan berencana ingin mengembalikan semua banunan kuno menjadi seperti semula.
Ahok ingin agar seluruh penemuan ini bisa menyempurnakan restorasi kawasan Pasar Ikan, sebagai salah satu kawasan bersejarah di Tanah Air.
Dia mengatakan, kawasan tersebut sebelumnya merupakan gudang milik VOC untuk jalur keluar-masuknya barang menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Namun, pada awalnya tidak ada permukiman warga di sana.
“Jadi bukan pemukiman warga. Kawasan Pasar Ikan dan Kampung Aqurium itu gudang VOC,” tutupnya.
Rencananya, Pemprov DKI Jakarta juga akan membangun tanggul untuk memompa air sungai atau air banjir. Sedangkan air laut yang menutupi benteng akan dibuang langsung ke laut atau ke Kali Pakin.
Suasana kawasan Pasar Ikan Tahun 1940.
Suasana kawasan Pasar Ikan Tahun 1940.
Benteng Bastion Zeeburg
Jakarta pada masa lalu bernama Batavia, adalah salah satu kota besar pada zamannya VOC yang menjadi andalan mereka. Jadi tak heran jika di wilayah ini, apalagi disepanjang garis pantainya, ditemukan bangunan-bangunan kuno berupa benteng-benteng masa lalu sebagai tembok pertahanan untuk kota itu.
Benteng (Citadel) Prins Frederik Hendrik di Weltevreden (kini Masjid Istiqlal) sebelum tahun 1918. (Pict by TROPEN MUSEUM)

Benteng (Citadel) Prins Frederik Hendrik di Weltevreden (kini Masjid Istiqlal) sebelum tahun 1918. (Pict by TROPEN MUSEUM)
Selain Jembatan Gantung Kota Intan yang sudah terkenal warga Ibu Kota Jakarta, ada pula beberapa situs bersejarah di daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Nama salah satu situs bersejarah tersebut adalah Bastion Zeeburg atau Benteng Zeeburg. Pada masa kini, Benteng Zeeburg merupakan tembok yang merupakan bagian dari deretan Benteng Kota Batavia, salah satunya yang berada dikawasan yang kini dinamakan Pasar Ikan yang masuk dalam wilayah bernama Luar Batang di Jakarta Utara.
Namun, Benteng di Kota Batavia ini hanyalah bagian kecil saja dari tembok-tembok Benteng Frederik Hendrik yang membentang dan cukup panjang.
Sebagian dari Benteng Zeeburg berada di utara Museum Bahari, sementara sisanya berdekatan dengan tembok batu bata baru, yang dibangun warga Pasar Ikan dan akhirnya sudah diratakan untuk pembangunan kawasan hijau di daerah Jakarta Utara.
Benteng Pertahanan Defensieljn van den Bosch
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch adalah arsitek yang pawai dalam hal garis pertahanan, dan benteng yang dibuatnya dinamakan menurut namanya, yakni Defensieljn van den Bosch.
Johannes van den Bosch lahir di Herwijnen, Lingewaal, 1 Februari 1780. Kapal yang membawanya mulai tiba di Pulau Jawa tahun 1797, sebagai seorang letnan. Tetapi pangkatnya cepat dinaikkan menjadi kolonel. Ia memerintah antara tahun 1830 – 1834.
Pada masa pemerintahannya Tanam Paksa (cultuurstelsel) mulai direalisasi, setelah sebelumnya hanya merupakan konsep kajian yang dibuat untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara induk Belanda.
Hal itu dilakukan karena Kerajaan Belanda kehabisan dana akibat peperangan di Eropa maupun daerah koloninya, terutama di Jawa dan Pulau Sumatera.
Pada tahun 1810, ia sempat dipulangkan ke Belanda karena perbedaan pendapat dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Di Belanda, ia diangkat kembali sebagai kolonel di ketentaraan dan menjadi Panglima Maastricht.
Di Belanda karier militernya membuatnya terlibat sebagai komandan di Maastricht dengan pangkat sebagai Mayor Jenderal. Di luar kegiatan karier, Van den Bosch banyak membantu menyadarkan warga Belanda akan kemiskinan akut di wilayah koloni.
Pada tahun 1827, dia diangkat menjadi jenderal komisaris dan dikembalikan ke Batavia, hingga akhirnya menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1830.
Van den Bosch kembali ke Belanda sesudah lima tahun. Dia pensiun secara sukarela pada tahun 1839, lima tahun kemudian ia meninggal di Den Haag, 28 Januari 1844 pada umur 63 tahun. Van den Bosch adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-43.
Selama karirnya, ia membuat benteng di atas dan dibawah Batavia yang sangat panjang. Benteng yang rencana awalnya akan menjadi garis pertahanan ini kemudian dinyatakan gagal karena kurang manfaatnya.
Benteng itu terbentang dari ujung selatan jalan Bungur Besar yang kini berada di belakang stasiun Senen, memanjang ke arah utara Batavia.
Dari ujung yang utara itu, garis petahanan membelah ke arah barat melalui Sawah Besar, Krekot hingga Gang Ketapang.
Kemudian bentang garis pertahanan itu membelok ke arah selatan melalui Petojo sampai ke sebelah barat Lapangan Monas.
Dari sini, garis pertahanan itu masih diteruskan lagi sampai ke Tanah Abang, kemudian membelok ke arah timur melalui Jalan Kebon Sirih, Jembatan Prapatan dan Kramat Bunder.
Belum lagi terowongan bawah tanah Batavia yang membentang ratusan atau mungkin ribuan meter yang saling menghubungkan antara satu gedung ke gedung lain.
Hingga kini hanya sebagian kecil saja terowongan yang terkuak, seperti terowongan bawah tanah di bawah stasiun Tanjung Priok.
terowongan bunker tanjung priok dan syahbandar batavia jakarta 02
Ruang bawah tanah (bunker) di Stasiun Tanjung Priok Jakarta.

Selain itu ditemukan pula beberapa terowongan bawah tanah dibawah gedung-gedung tua di kawasan Kota Tua di Jakarta.
Baru-baru ini juga ditemukan ruang bawah tanah dan terowongan bawah tanah di bawah Musium Fatahilah.
Sedangkan sisa terowongan-terowongan bawah tanah dan bunker di bawah Batavia lainnya, hingga kini masih misterius.
Jadi belum bisa disimpulkan berapa panjang keseluruhan benteng yang memutari dan membeleh kota Batavia dari berbagai penjuru. Belum diketahui pula, berapa lama bangunan itu dibuat, dari era gubernur jenderal siapa hingga gubernur jenderal siapa. Juga, berapa jumlah pekerja paksa selama pembuatan benteng untuk garis pertahanan di kota Batavia itu?
Benteng Bastion Frederik Hendrik
Garis pertahanan Johannes van den Bosch pastinya memiliki kaitan kepada beberapa bentang lainnya, termasuk hubungan dengan Benteng (citadel) Frederik Hendrik atau dikenal juga sebagai The Citadel Prins Frederik, atau Fort Prins Frederik.
Benteng itu juga dibangun oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada tahun 1834 di masa-masa akhir jabatannya, dan terletak ditengah-tengah taman Wilhelmina Park, tempat berdirinya Masjid Istiqlal sekarang.
Diatas benteng Frederik Hendrik dipasang sebuah loceng besar. Lonceng yang meski sudah tua tetapi masih berjalan baik itu, awalnya berada dibawah pemilikan toko arloji bernama “Van Arken” milik orang Belanda yang berada di daerah Rijswijk.
Wilhelmina-Park-Oude-Fort dan benteng tanah, kini mesjid Istiqlal Jakarta
Wilhelmina Park Oude Fort dan benteng tanah, kini mesjid Istiqlal Jakarta.
Di zaman penjajahan Belanda, benteng Frederik Hendrik sepanjang siang dan malam selalu dijaga tentara VOC. Dari benteng ini tiap pukul 05.00 pagi dan pukul 20.00 malam, selalu terdengar bunyi meriam.
Maksud dari tembakan meriam itu hanya sebagai kode atau tanda yang ditujukan bagi kalangan tentara dan pemimpin militer saja yang menunjukkan bahwa mereka para penjaga, selalu siap dan terjaga.
Kabarnya benteng tua yang sudah lama dibongkar ini, dibawahnya ada terowongan yang menghubungkan dari taman Wilhelmina Park menuju Pasar Ikan. Bayangkan betapa panjangnya terowongan ini. Si atas taman Wilhelmina Park kemudian didirikan Masjid Istiqlal yang dibuka tahun 22 February 1978 silam.
Dan bisa jadi terowongan bawah tanah itu bercabang-cabang ke berbagai bangunan kuno diatasnya, seperti ke bangunan-bangunan pemerintahan milik VOC, ke bawah bangunan untuk bank-bank VOC, ke bawah Musium Fatahillah, ke bawah Stasiun Tanjung Priok, dan gedung-gedung lainnya.
Benteng (Citadel) Prins Frederik Hendrik di Weltevreden (kini Masjid Istiqlal) (Pict by TROPEN MUSEUM)

Benteng (Citadel) Prins Frederik Hendrik di Weltevreden (kini Masjid Istiqlal) (Pict by TROPEN MUSEUM)
Namun panjang terowongan ini pastinya tak hanya satu terowongan dan tak seberapa panjang, jika dibandingkan dengan keseluruhan terowongan bawah tanah di bawah kota Batavia yang masih misterius hingga kini.
Terowongan yang membelah Batavia dari bawah taman Wilhelmina Park (Mesjid Istiqlal sekarang) menuju Pasar Ikan saja sudah lumayan panjang, yang mana di daerah Pasar Ikan, Luar Batang, ditemukan pula bangunan-bangunan dan benteng-benteng kuno.
Bahkan ada yang ditemukan sudah terendam dibawah air laut hingga kedalaman dua meter ketika tanahnya dibebaskan untuk dikembalikan seperti tempo doeloe, kembali ke masa laloe. Bagaimana kelanjoetannya dari bangoenan koeno ini, kita lihat saja ke depannya, ketika situs sudah dibersihkan. (Sumber: ©IndoCropCircles)

No comments: