Ironi Pembuat RUU HIP Sedang Menggali Liang Kuburnya Sendiri (TAMAT)

…Berdasarkan sejarah kelahiran Pancasila tersebut yang patut dicatat disini adalah bahwa Pancasila yang dirumuskan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 dihadapan sidang BPUPK ini berstatus “usulan” tentang dasar negara RI merdeka, sedangkan Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 berstatus “dokumen/naskah resmi” dasar negara RI yang disahkan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 setelah Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka oleh Bung Karno dan Bung Hatta tangal 17 Agustus 1945.
Pancasila ala RUU Haluan Ideologi Pancasila
Kini setelah 74 tahun perjalanan Pancasila, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hendak mengembalikan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Untuk maksud itu Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang dikepalai Yudi Latif.
Dewan pengarah terdiri atas ”orang-orang hebat”, antara lain Try Sutrisno, KH Ma’ruf Amin, Megawati, Sidarto Danusubroto (mantan ketua MPR), dan pengusaha kondang Sudhamek. Belum genap 1 (satu) tahun usia Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang ditetapkan tanggal 23 Mei 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah merubahnya menjadi Perpres Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang ditetapkan pada tanggal 28 Februari 2018.
Perpres yang baru ini telah merubah nomenklatur lembaga tersebut dari Unit Kerja Presiden (UKP) menjadi setara dengan kementerian/lembaga dengan nama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang dipimpin oleh Prof. Yudi Latief Ph.D dan Ketua Dewan Pengarah dipegang oleh Mantan Presiden RI ke 5, Megawati Soekarnoputri. Posisi Yudi Latief kemudian digantikan oleh Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Yudian Wahyudi, sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru.
Menurut Ir. Arief Poerboyo Moekiyat, M.T., Deputi VI Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa (Kesbang) pada Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI, perubahan Perpres tersebut dilakukan pemerintah dalam rangka memperkuat implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Selama masa kepemimpinan Yudian Wahyudi inilah muncul pernyataan pernyataan kontroversial terkait dengan Pancasila diantaranya : menyatakan agama sebagai musuh terbesar Pancasila, mengenalkan Pancasila dengan tik tok dan mengusulkan assalamuakaikum diganti dengan salam pancasila.
Sebagai bagian rentetan dari keganjilan keganjilan terkait Pancasila, muncul usulan RUU HIP (Haluan Idiologi Pancasila). Sebagaimana banyak di ulas sebelumnya, RUU HIP mengandung kontroversi yang membuat banyak orang bertanya tanya.

Diantaranya dalam RUU HIP tidak mencantumkan TAP Nomor XXV//MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Organisasi Terlarang PKI Dan Larangan Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dalam konsiderannya.
Dalam RUU HIP juga masih disebut sebut usulan Pancasila dari Soekarno yang sebenarnya harus dipandang sebagai realita sejarah yang cukup disimpan saja. Namun ternyata tetap dimasukkan kedalam RUU Haluan Ideologi Pancasila.
Usulan itu diantaranya dengan menyebut Trisila yang menunjuk pada sosio-nasionalisme, socio-democratie dan Ketuhanan yang menghormati satu sama lainnya. Adapun Ekasila berisi gotong royong, dimana gotong royong, yang dianggap merupakan tradisi kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala.
Tujuan dibentuknya ekasila adalah agar mudah dimengerti dan tidak ambigu maknanya oleh berbagai bangsa dan suku di Indonesia.
RUU HIP pasal 6 ayat (1) memasukkan Trisila dan ayat (2) memasukakn Ekasila yang tentunya akan mendegradasi kemurnian Pancasila. Dalam sejarah, pada saat pembahasan dasar negara, Trisila dan Ekasila tersebut memang pernah ditawarkan. Akan tetapi, yang dipilih dan disepakati pada saat itu adalah Pancasila.
Semestinya RUU HIP jika ingin membahas Pancasila tentunya jangan sampai mencampuradukkan dengan Trisila maupun Ekasila. Pasalnya, hal tersebut akan merusak kemurnian Pancasila yang memiliki spirit agama dan lebih jauh bisa terseret kepada aliran komunisme yang sudah dinyatakan sebagai idiologis terlarang di Indonesia.

Pada Pasal 6 ayat 1 RUU HIP, disebutkan “Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial”, padahal sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjiwai sila-sila berikutnya. Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, tersebut dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Selain itu Paham Ketuhanan yang berkebudayaan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP, sangat merisaukan. Paham ini mengambil pendapat Bung Karno saat sidang BPUPKI, “segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama”.
Paham Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.Paham sekularime ini terkait dengan pemikiran liberal yang berkembang yang keberadaannya tidak lepas dari pemikiran Christian Snouck Hurgronje dengan teori “receptie.”
Teori receptie menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Dapat dipahami bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat, karena hukum adat sebagai variabel penentunya.
Padahal Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Agama Islam mengakui budaya sepanjang budaya dimaksud tidak bertentangan dengan ajaran agama.Dalam rumusan RUU HIP peranan agama tidak lagi menjadi dominan dalam pembangunan nasional, lebih diarahkan kepada mental dan spiritual belaka.
Pembangunan Agama hanya menjadi sub-bidang, ini dapat terlihat dalam Pasal 22 huruf a jo Pasal 23 huruf a. Di sebutkan bahwa agama yang disandingkan dengan rohani dan kebudayaan sebagai bidang-bidang Pembangunan Nasional, namun peruntukannya sebagai “pembentuk mental dan karakter bangsa”.
Dimasukannya bidang mental, tentu terhubung dengan “revolusi mental” yang digagas oleh Presiden Jokowi. Revolusi mental itu sendiri mirip dengan “revolusi kebudayaan” ala Mao Zedong pemimpin China. Pada hal dalam Islam yang dikenal adalah akhlak, bukan mental.
Lebih lanjut, Pasa Pasal 23 huruf e, disebutkan adanya pembinaan atas rumah-rumah ibadah dan lembaga-lembaga keagamaan. Dimaksudkan untuk membangun kesadaran toleransi dan kerja sama antara umat beragama dalam semangat gotongroyong. Frasa “semangat gotong royong” adalah menunjuk pada konsep Eka sila yang terkait dengan paham Ketuhanan yang berkebudayaan.

Adanya pembinaan pembinaan negara ini dinilai sangat berbahaya karena berpotensi memunculkan terjadinya penyelewengan berupa tindakan persekusi dan kriminalisasi jika tidak sejalan dengan maunya penguasa.
Dalam RUU HIP juga dinyatakan bahwa yang menjadi landasannya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.” (Draf RUU HIP pasal 4 huruf b).
Penyebutan “ilmu pengetahuan dan teknologi” sebagai landasan Haluan Ideologi Pancasila jelas menegasikan peranan agama. Frasa ”berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi” merupakan paradigma sekularistik. Suatu paham/ajaran yang memisahkan kepentingan negara dan agama. Padahal, Indonesia didirikan berdasarkan pada nilai-nilai tauhid, ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana dimaksudkan Pasal 29 (1) UUD 1945.
Kalau mau dibutiri substansinya, cukup banyak muatan RUU yang kontroversial sehingga sudah sewajarnya kalau marak penolakan dimana mana.Oleh karena itu apabila RUU HIP ini disahkan menjadi undang-undang, maka keberadaan Pancasila akan tereduksi dengan tafsir sepihak pemerintah, sebagaimana berlaku pada masa-masa sebelumnya.
Dengan sendirinya Pancasila secara hakikat sudah tidak ada dan akan berakhir pada kembalinya ideologi Sosialisme-Komunisme” sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Suteki dari Universitas Diponegoro seorang pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila.
Menggali Liang Kuburnya
Setiap rejim yang berkuasa akan selalu mencatat kinerja pemerintahannya. Catatan itu bisa positif bisa juga negative tergantung dari sudut mana memandangnya. Ketika rejim sedang berkuasa bisa saja kinerja pemerintah dianggap bagus semuanya dalam melaksanakan Pancasila tapi pemerintah yang akan berkuasa kemudian akan mengoreksinya. Saat ini begitu terasa aura keinginan pemerintah yang sedang berkuasa untuk bernosltagia ke masa lalu mengenai Pancasila.
Seolah olah sedang silau dengan sosok Bung Karno sebagai pencetus lahirnya Pancasila, lalu berusaha menampilkan kembali gagasan gagasan Bung Karno tentang Pancasila. Pada hal gagasan gagasan Bung Karno sifatnya baru usulan dan belum menjadi kesepakatan bersama tokoh tokoh bangsa. Bahkan pemikiran Bung Karno tentang Nasakom yang dianggap menyimpang dari Pancasila berusaha untuk ditampilkan kembali dalam RUU haluan idiologi pancasila. Langkah ini tentu saja akan mendegradasi Pancasila yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Mereka yang mengangkat kembali pemikiran pemikiran lama tentang Pancasila itu apakah tidak pernah berpikir bahwa mereka tidak akan berkuasa selamanya? Sehingga upayanya untuk mendesakkan konsep Pancasila yang menyimpang dari kesepakatan bersama itu bisa dimaknai sebagai langkah menggali kuburnya sendiri ditengah pandemi corona?
Bisa jadi upayanya itu berjalan mulus karena didukung oleh perangkat kekuasaan yang mendukungnya, tetapi harus diingat bahwa kekuasaan itu tidak selamanya langgeng alias selamanya. Suatu saat nanti upaya untuk mendegradasi Pancasila ini bisa “diadili” oleh rejim yang berkuasa sesudahnya.
RUU HIP ini boleh dikatakan sebagai upaya makar konstitusional oleh pihak pihak tertentu untuk mengaburkan Pancasila. Hal ini sangat ironis sekali ditengah upaya untuk melaksankaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau begitu caranya tidak berkelebihan kiranya kalau Pancasila sejauh ini hanya dijadikan alat untuk rejim yang berkuasa untuk memuluskan agenda agendanya. Sebuah agenda parsial kelompok/ golongan dan bukan untuk kepentingan untuk mencapai tujuan negara.
Indikatornya sudah terbaca sejak awal mula ketika draft konsep RUU HIP bersemangat memunculkan Pancasila model lama yang kental nuansa sekulernya. Pada hal kalau mereka mempelajari sejarah lahirnya Pancasila, seharusnya sadar bahwa Pancasila lahir karena pengorbanan dan hadiah dari umat islam yang merupakan umat mayoritas di Indonesia. Dengan menggiring konsep RUU HIP menjadi sekuler, apakah mereka tidak berpikir umat islam bisa marah dalam menyikapinya?
Hal tersebut seyogyanya menjadi dasar pertimbangan dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak boleh ada sebuah RUU yang memicu terjadinya proses disintegrasi bangsa kecuali kalau itu yang menjadi tujuannya.
Apakah perjuangan keras untuk meloloskan RUU HIP ini menjadi Undang Undang menjadi spirit mereka untuk mengejar target target legislasi yang telah dicanangkannya ?. Sejauh ini mereka memang telah berhasil meloloskan serangkaian RUU kontroversial seperti Revisi RUU KPK yang telah berhasil membuat KPK tidak berdaya. Telah berhasil juga meloloskan RUU Minerba yang menguntungkan pengusaha besar dan pemerintah Pusat dalam pengelolaan Minerba. RUU Corona juga berhasil disahkan sehingga sukses mempreteli kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif di Indonesia.
Desmond J Mahesa, Penulis
Berikutnya yang sedang di incar selain RUU HIP adalah revisi UU MK dan juga Omnibus Law Cipta kerja yang sedang di pending pembahasannya. Serangkaian RUU yang berhasil di undangkan tersebut banyak mendapatkan masukan, kritik dan saran dari masyarakat tetapi show must go on semua seolah olah dipandang sebagai dinamika pembahasan saja. Yang paling menentukan pada akhirnya adalah kekuatan wakil rakyat di DPR yang saat ini memang di dominasi partai pendukug penguasa.
Alhasil ketika kritik dan masukan diabaikan dianggap sebagai angin lalu saja pada akhirnya rakyat akan pasrah menyerahkan sepenuhnya kepada penguasa.

Silahkan penguasa melukis sejarah mengenai perlakuannya terhadap Pancasila sesuai dengan seleranya. Silahkan menggali kubur untuk dirinya mumpung diberi kekuatan untuk melakukannya. Segala sesuatu ada konsekuensinya baik secara politik, hukum maupun sosialnya.
Apakah mereka memang sudah siap menanggung seluruh konsekuensinya?
Sudah siapkah mereka dilabeli sebagai rejim pengkhianat Pancasila seperti halnya rejim Orla dan Orba? (end)
(Penulis: Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi II DPR RI)

No comments: