Ironi Pembuat RUU HIP Sedang Menggali Liang Kuburnya Sendiri (Bag.1)
MUNCULNYA RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) seolah-olah melengkapi adanya peraturan-peraturan kontroversial sebelumnya yang dibahas di DPR saat pandemi corona.
Sebelumnya ada RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Perpu Corona, revisi UU MK, dan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Adanya RUU HIP mengindikasikan bahwa untuk kesekian kalinya Pancasila di obok obok jerohannya.
Dengan dalih untuk memberikan pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional disemua bidang yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh rakyat Indonesia, dibuatlah RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila).
Tapi meskipun dalam dasar pertimbangannya RUU HIP ingin memberikan pedoman berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila, kenyataannya adalah mendegradasi keberadaan Pancasila yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa.
Apakah para penggagas RUU HIP ini melupakan sejarah pembentukan Pancasila yang penuh dinamika perdebatan saat kelahirannya? Mengapa muncul usulan RUU yang tidak sejalan dengan Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa? Apakah RUU ini nanti kalau disahkan akan menjadi pedoman yang bisa mengarahkan kepada upaya untuk mencapai tujuan bernegara atau justru menyesatkannya? Lalu apa konsekuensinya?
Mengenang Sejarah Lahirnya Pancasila
Rumusan Pancasila yang terdiri dari lima sila yang kita kenal sekarang adalah rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Tetapi banyak orang yang masih belum tahu proses panjang sampai dengan dihasilkannya rumusan Pancasila sebagaimana tertuang di pembukaan UUD 1945.
Kata Pancasila pertama kali ditemukan di kitab yang ditulis oleh Empu Tantular bernama Sutasoma berbahasa Sansekerta. Kitab tersebut ditulis abad 14 masehi ketika kerajaan Majapahit berkuasa.
Dalam kitab Sutasoma, Pancasila merupakan istilah yang menunjukkan sebuah batu bersendi lima. Pengertian tersebut tidak populer karena hanya merupakan penjelasan dari kata benda.
Selain itu, kitab Sutasoma juga menjelaskan Pancasila sebagai kata kerja, yaitu pelaksanaan norma kesusilaan yang terdiri dari lima poin yaitu dilarang melakukan kekerasan, dilarang mencuri, dilarang mendengki, dilarang berbohong dan dilarang mabuk minuman keras (kalau sekarang mungkin mabuk kuasa).
Sebenarnya istilah Pancasila dalam kitab Sutasoma hanyalah bagian kecil dari pembahasan yang lebih umum tentang gambaran kehidupan rakyat di bawah kekuasaan Majapahit yang hidup damai, tentram dan sejahtera.
Dalam kitab Sutasoma juga ditulis istilah yang menjadi inspirasi persatuan bangsa ”Bhinneka Tungga Ilka, Tan Hana Dharma Magrwa”.
Peristiwa Sumpah Palapa juga ditulis sebagai cerita tentang momentum bersejarah penyatuan nusantara untuk pertama kalinya oleh Mahapatih Gajah Mada.Sampai di sini, kita sudah bisa melihat kaitan sejarah yang kuat antara Majapahit dengan terbentuknya negara modern Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya.
Pada perkembangan selanjutnya, istilah Pancasila kerap muncul dalam pidato-pidato tokoh besar besar seperti H.O.S Cokroaminoto, Sukarno dan tokoh tokoh Indonesia lainnya. Dalam autobiografinya, Sukarno mengatakan bahwa ketika dirinya diasingkan di Flores, di bawah pohon sukun ia merenung dan ”mendapat ilham” berupa lima nilai yang pantas menjadi ideologi negara bila Indonesia merdeka.
Menjelang Indonesia merdeka tahun 1945, kebingungan melanda para pemimpin bangsa kita.Karena kalau Indonesia merdeka harus dipersiapkan segala sesuatunya termasuk dasar negaranya bagaimana?
Kebingungan ini rupanya menggelayuti benak tokoh bangsa seperti Ketua Badan Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat yang juga mempertanyakan: “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?”
Untuk menjawab pertanyaan itu BPUPKI mengadakan sidang sidang BPUPKI melakukan sidang sidang perumusan Pancasila pada periode 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Sidang sidang itu untuk menjawab pertanyaan Ketua Badan Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat.
Dalam sidang sidang itu terjadi perdebatan panjang dan sangat tajam (sebanyak 32 orang) ada yang ingin merdeka, ada pula yang belum menghendakinya tapi belum ada satupun yang mengutarakan pandangan yang memenuhi syarat suatu sistem filsafat dasar untuk diatasnya dibangun Indonesia merdeka.
Terkait dengan rumusan Pancasila disampaikan pidato pidato tokoh bangsa secara bergiliran mulai Mohammad Yamin, Supomo dan Soekarno.
Pada 29 Mei, Mohammad Yamin memperoleh kesempatan pertama untuk berpidato menyampaikan lima sila yang diusulkan menjadi asas dasar negara Indonesia, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Setelah berpidato, Muhammad Yamin menuliskan rancangan UUD Republik Indonesia yang di dalamnya mencakup kelima asas dasar negara sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pada sidang BPUPKI yang diselenggarakan dua hari kemudian, Supomo menyampaikan buah pikirannya mengenai asas dasar negara Indonesia, yaitu:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan Lahir dan Batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat
Pada Sidang tanggal 1 Juni 1945 atau sehari kemudian, Sukarno mendapat giliran untuk menyampaikan pidatonya tentang dasar negara.Dalam pidatonya Bung Karno mengatakan bahwa tentunya semua anggota BPUPKI sepakat bahwa negara yang didirikan adalah untuk semua rakyat dari ujung Aceh sampai Irian, kini Papua.
“Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan. Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia,” kata Bung Karno.
Bung Karno meminta maaf kepada umat Islam dan anggota BPUPKI Ki Bagoes Hadikoesoemo yang merupakan ulama dari Yogyakarta sekaligus Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1942-1945. “Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan kebangsaan ini! Saya pun orang Islam,” tambah Bung Karno.
Kebangsaan yang dimaksud, kata Bung Karno, bukan dalam artian sempit.
“Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia,” papar Bung Karno.
Dari dasar pertama, Bung Karno loncat ke dasar ketiga.
“Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan,” kata dia.
Prinsip ke-4 yang diusulkan Bung Karno adalah kesejahteraan. Bagi Sukarno tak boleh ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. “Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka,” begitu kata si Bung.
Bung Karno telah menyampaikan 4 prinsip dasar negara yakni: 1.Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial.
“Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan sesuai dengan keyakinannya. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa,” papar Bung Karno.
Adapun ringkasan rumusan Pancasila menurut Soekarno terdiri dari:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Gagasan Bung Karno soal 5 prinsip dasar negara itu diterima secara aklamasi oleh semua anggota BPUPKI. Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Sembilan untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar Negara.
Panitia Sembilan adalah kelompok kerja yang dibentuk pada 1 Juni 1945, diambil dari suatu Panitia Kecil ketika sidang pertama BPUPKI. Diketuai oleh Soekarno, adapun anggotanya adalah: Mohammad Hatta (wakil ketua), Alexander Andries Maramis (anggota), Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota), Abdoel Kahar Muzakkir (anggota), Agus Salim (anggota), Achmad Soebardjo (anggota), Wahid Hasjim (anggota), dan Mohammad Yamin (anggota).
Setelah melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4 orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945. Panitia Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dalam Piagam Jakarta itu terdapat rumusan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kesepakatan ini terjadi setelah adanya lobi dari Bung Hatta kepada kelompok Islam yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo karena ada utusan kelompok dari tokoh di Indonesia timur yang “mengancam” akan memisahkah diri dari Indonesia bila rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap menggunakan frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada lobi yang berlangsung di sore hari pada 17 Agustus 1945 sempat terjadi kekhawatiran bila usaha itu akan mengalami kegagalan.
Semua tahu akan sikap keras Ki Bagus Hadikusumo yang menganggap rumusan di Piagam Jakarta sudah final dan merupakan jalan kompromi terbaik. Namun, Hatta tak putus asa. Dia kemudian memilih Kasman Singodimedjo untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo. Penunjukan kepada Kasman dianggap paling tepat karena dia juga merupakan teman dekat dari Ki Bagus Hadikusumo.
Memang pada awalnya Ki Bagus Hadikusumo menolak, bahkan dia merasa dikhianati kepercayaannya. Namun, dia kemudian berhasil dibujuk dengan mengingatkan adanya ancaman pemisahan diri dari beberapa tokoh wilayah timur Indonesia. Akhirnya, dengan nada yang berat, kemudian Ki Bagus bisa menerimanya dengan memberikan syarat dialah yang menentukan rumusan sila pertama Pancasila setelah tujuh kalimat itu dihapus dari piagam Jakarta.
Diceritakan ketika Ki Bagus mencoret tujuh kata itu dari piagam Jakarta, beliau melakukannya dengan derai air mata. Mungkin terbayang dalam benaknya bagaimana perjuangan para ulama, syuhada dan para kyai, santri dalam mendorong Indonesia merdeka.
Ki Bagus tidak memilih kata “ketuhanan” saja, tetapi menambahkannya dengan “Yang Maha Esa” atau menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian Piagam Jakarta inilah yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan pada sila pertama yang berdasarkan pada berbagai pertimbangan mengenai sebuah negara kesatuan. Dokumen ini dihasilkan setelah terjadi kompromi antara empat golongan nasionalis dan empat golongan Islam mengenai rumusan dasar negara.
Dengan dicoretnya tujuh kata di Piagam Jakarta maka rumusan Pancasila yang disepakati oleh para tokoh bangsa yang kemudian dimasukkan ke dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dengan dicoretnya tujuh kata dalam piagam Jakarta tersebut sesungguhnya merupakan wujud pengorbanan sekaligus hadiah umat Islam demi Pancasila dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai umat mayoritas, umat Islam bersedia menghilangkan tujuh kata di Piagam Jakarta.
Pencoretan tujuh kata itu memberikan keteladanan tentang toleransi antar umat beragama yang saling menghormati dan saling memberi demi bangsa dan negara. Ki Bagus juga mengajarkan cara memegang prinsip yang teguh prinsip prinsip keimanan yang diyakininya.
Kalau sekarang kemudian ada pihak pihak yang berusaha membentur benturkan Pancasilan dengan agama (Islam), kiranya orang tersebut tidak mengerti sejarah bagaimana Pancasila dilahirkan sehingga sangat disayangkan tentunya.
Pada kemudian hari, yakni 70 tahun kemudian, setelah melalui perjuangan yang alot dan berliku, pada 10 November 2015 kelapangan hati Ki Bagus Hadikusumo tersebut baru mendapat pengakuan yang setimpal dari negara dengan pemberian gelar sebagai pahlawan nasional kepadanya (BERSAMBUNG KE BAGIAN 2)
(Penulis: Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi II DPR RI)
No comments:
Post a Comment