Orang Jawa Tidak Mau Ganti Agama
Franciscus Georgius Josephus Van Lith SJ |
Surat Pater van den Elsen itu penting kita renungkan. Bahwa, “Orang Jawa menganggap diri mereka sebagai Muslim.” Artinya, Islam hidup dalam keseharian orang Jawa, sebagai budaya.
SALAH satu sukses dakwah Islam di Tanah Jawa adalah proses pembudayaan nilai-nilai Islam dalam budaya Jawa. Salah satunya adalah khitan. Orang Jawa pasti dikhitan. Yang tidak khitan, bukan dianggap sebagai orang Jawa. Karena itulah, untuk menyukseskan misi Kristen di Jawa, Frans van Lith menggunakan strategi budaya.
Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka.
Datang ke Indonesia pada 1896, Frans van Lith menulis dalam sebuah suratnya:
“Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus, mereka harus menemukan titik-awal bagi penginjilan. Di dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam, dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati orang-orang ini.”
Dalam salah satu artikelnya yang ditemukan sesudah kematiannya, van Lith juga menyemangati teman-teman misionaris agar menempatkan diri sesama warga dengan orang Jawa: “Kalau kita, orang Belanda, ingin tetap tinggal di Jawa dan hidup dalam damai dan menikmati keindahan serta kekayaan pulau tercinta ini, maka ada satu tuntutan, yaitu bahwa kita harus selalu belajar memperlakukan orang Jawa sebagai saudara kita. Di tengah-tengah orang Jawa, kita tidak bisa berlagak seperti penguasa, atau sebagai majikan, atau sebagai komandan, tetapi seharusnya sebagai sesama warga. Kita harus belajar menyesuaikan diri, belajar menguasai bahasa orang-orang ini dan adat kebiasaan mereka; hanya dengan berlaku demikian kita bisa menjalin persahabatan dengan mereka ini.”
Demi pendekatan budaya, van Lith sampai bisa menerima orang Katolik Jawa melakukan sunat. Padahal, dalam suratnya, Paulus menyatakan: “Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu”. (Gal. 5,2). Van Lith menerima sunat bagi orang Katolik Jawa, tetapi menolak tambahan doa Arab (Islam).
Para misionaris, seperti van Lith, berkeinginan memisahkan orang Jawa dengan Islam. Sebab, orang Jawa memang sangat kokoh memegang identitasnya sebagai Muslim, meskipun mereka belum mengamalkan ajaran Islam sepenuhnya. Sulitnya orang Jawa ditembus misi Kristen digambarkan oleh tokoh misi Katolik, Pater van den Elzen, dalam sebuah suratnya bertanggal 19 Desember 1863:
“Orang Jawa menganggap diri mereka sebagai Muslim meskipun mereka tidak mempraktekkannya. Mereka tidak bertindak sebagai Muslim seperti dituntut oleh ajaran “Buku Suci” mereka. Saya tidak dapat mempercayai bahwa tidak ada satu pun orang Jawa menjadi Katolik semenjak didirikannya missi pada tahun 1808. Dulunya Jawa ini sedikit lebih maju daripada sekarang ini. Sejak tahun 1382, ketika Islam masuk, Jawa terus mengalami kemunduran. Saya dapat mengerti sekarang, mengapa Santo Fransiskus Xaverius tidak pernah menginjakkan kakinya di Jawa. Tentulah ia mendapat informasi yang amat akurat tentang penduduk di wilayah ini, termasuk Jawa. Dan Portugis yang telah berhasil menduduki beberapa tempat di sini menganjurkan agar ia pergi ke Maluku, Jepang, dan Cina, karena tahu tak ada apa-apa yang bisa dibuat di Jawa. Akan tetapi, dalam pandanganku di pedalaman toh ada sesuatu yang dapat dilakukan.”
***
Surat Pater van den Elsen itu penting kita renungkan. Bahwa, “Orang Jawa menganggap diri mereka sebagai Muslim.” Artinya, Islam hidup dalam keseharian orang Jawa, sebagai budaya. Orang Jawa mengidentikkan diri mereka sebagai muslim, dan enggan berganti agama. Inilah salah satu kunci sukses dakwah Islam di Tanah Jawa.
Para pendakwah Islam perlu memahami realitas ini, agar Islam tidak dianggap sebagai hal yang “asing” bagi orang Jawa. Karena itulah dalam dakwah diperlukan ilmu dan hikmah. Disamping wajib memahami ajaran Islam dengan baik, kaum muslim juga wajib memahami budaya Jawa dengan baik. Juga, diperlukan pemahaman terhadap usaha-usaha Kristenisasi atau sekulerisasi orang Jawa.
Untuk memuluskan misi penjajahan, pemerintah kolonial Belanda sangat serius dalam memahami Budaya Jawa. Gubernur Jendral Van den Bosch, misalnya, adalah memimpin Nederland Bijbelgenootschap. Ia pun mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa), tahun 1832. Lembaga ini mengkaji Budaya Jawa dan menerjemahkan Bibel ke dalam Bahasa Jawa.
Tentu saja di era globalisasi dan disrupsi saat ini tantangan terberat datang dari paham-paham yang datang dari peradaban Barat, seperti sekulerisme dan materialisme. Orang Jawa yang telah “tercelup” dengan budaya Islam biasanya sangat menekankan olah jiwa dan olah raga dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Budaya tolong-menolong menjadi bagian kehidupan sehari-hari.
Budaya sekulerisme dan materialisme ini sangat merusak keimanan, ibadah, dan akhlak kaum muslim. Pemujaan dan kecintaan yang berlebihan terhadap materi akan menyingkirkan budaya zuhud dan kecintaan pada aktivitas pensucian jiwa (tazkiyatun nafs). Karena itu, orang muslim Jawa perlu besikap kritis terhadap paham-paham modern yang merusak kehidupan. Jangan sampai akhirnya mereka bangga menjadi sekuler tapi tidak bangga menjadi muslim. Na’udzubillahi min dzalika.*
Penulis guru di Pesantren At-Taqwa College (ATCO) Depok.
No comments:
Post a Comment