Pemberontakan Tambun 1869 dan Kisah Maestro Lukis Keturunan Arab Raden Saleh
Ratujaya nama tempat di Depok merujuk makam Kiranawati di situ. Kiranawati dijuluki Ratujaya. Tukang babad jodohkan beliau yang sudah lama almarhumah dengan salah seorang raja Sunda. Kiranawati penari. Time line Kiranawati sulit dilacak, paling-paling dalam masa kejayaan ekonomi lokal sekitar XV-XVI M
Rama tokoh lokal yang popularitasnya sampai Tambun, Bekasi. Ia dianggap sejarawan. Dalam catatan intel Belanda pelukis Raden Saleh beberapa kali berkunjung ke Ratujaya jumpa Rama.
Pemberontakan bermula dari serangan rakyat Tambun dipimpin Rama terhadap kantor asisten Residen di Tambun. Dalam serangan itu asisten Residen yang orang Belanda dan tiga lainnya mati.
Belanda membalas menyerang kantong-kantong pejuang. Banyak yang tewas, termasuk Rama, dan sebanyak 33 orang ditangkap.
Raden Saleh (lengkapnya bernama Raden Saleh Sjarif Boestaman) menjalani onderzoek, pemeriksaan. Tidak terbukti Raden Saleh yang juga keturunan Arab terlibat. Tapi aneh, Raden Saleh meninggalkan Jakarta dan seluruh propertinya ia tinggalkan. Ia memilih berdiam di Bogor hingga wafatnya.
Tanah dan bangunan peninggalan Raden Saleh di Jakarta di antaranya kini menjadi area kompleks kesenian Taman Ismail Marzuki. Luas tanah ini memanjang dari jalan Cikini Raya hinga ujung jalan yang sekarang dikenal sebagai Jalan Raden Saleh. Di sana berdiri berbagai macam bangunan mulai dari sekolah, perkantoran, hotel, restauran, masjid, hingga rumah Sakit PGI.
Area yang ditinggalkan Raden Saleh memang sangatlah luas. Lahan tanah itu berada dibilangan Cikini, Menteng, yang juga menjadi salah satu wilayah 'premium' Jakarta. Harga tanah di sana per meter sangatlah mahal. Dahulu kompleks Taman Ismail Marzuki adalah Kebun Binatang Raden Saleh, sang maestro pelukis Indonesia. Lukisan Raden Saleh yang sangat ikonik dan kini tersimpan di Istana Negara adalah lukisan tentang 'Penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia sendiri merupakan menantu dari sang pangeran dari Jogjakarta yang mengorbarkan Perang Jawa pada 1825-1830.
33 orang pelaku pemberontakan divonnis mati. Eksekusi di lapangan Mester. Terpidana gantung dibagi dalam tiga kloter. Tiap kloter 11 orang. Yang lain menunggu sambil melihat rekan-rekannya digantung. "Abis ini giliran kité déh," kata mereka saling bisik.
Ketika jenasah kloter satu diturunkan, tiba-tiba muncul utusan Gubernur Jenderal. Ia datang berkuda. Lalu ia keluarkan lembar kertas dan dibacanya depan polisi, algojo, dan terpidana yang mendengarkan dengan tegangan tinggi:
Ternyata, baru saja dateng surat Baginda Ratu yang menitahken bahwa terhitung tanggal maklumat ini hukuman mati dihapusken.
Terpidana mau tepuk tangan tidak bisa karena tangannya diranté. Algojo dan polisi frustrasi. Penonton menangisi yang terlanjur digantung.(Lihat buku Sartono Kartodirdjo:Pemberontakan Petani Banten).
Rol
No comments:
Post a Comment